Malangnya Jadi Tenaga Medis Warga +62

“Dia yang bukan saudaramu dalam iman, adalah saudaramu dalam kemanusiaan” (Ali Bin Abi Thalib). Teladan kata-kata tersebut sekarang adalah para tenaga medis yang berperang melawan covid-19. Kalau dibilang garda terdepan adalah tenaga medis, sepertinya sekarang kurang tepat.

Garda terdepan adalah masyarakat. Tenaga medis hanya menyembuhkan, memberi obat, merawat, tak sedikit juga yang mengedukasi. Tapi yang menjadi transportasi covid-19 loncat dari satu inang ke inang yang lainnya itu ya masyarakat. Jadi untuk memberhentikan transportasi utama virus itu jelas kesadaran masyarakat untuk menjaga kebersihan, menghindar dari kerumunan, kurangi otewe-otewe tidak penting dan semua prinsip social distancing.


Akhir-akhir ini banyak sekali berita bersliweran mengganggu nurani saya. Tentang apa dan siapa? ya bisa disebut derita tenaga medis. Banyak penolakan masyarakat kepada tenaga medis untuk hidup di tengah-tengah mereka. Mengusir dari tempat tinggal, kontrakan, kost-kostan, bahkan menolak jenazah untuk dimakamkan. Saya bersyukur, masyarakat ternyata sudah memiliki kewaspadaan tinggi. Tapi saya lebih bersyukur lagi, jika kesadaran masyarakat tidak melupakan kemanusiaan. 


Coba sekarang bayangkan bagaimana letihnya tenaga medis yang merawat para pasien positif covid-19. Mereka harus menggunakan APD ( Alat pelindung diri) berjam-jam yang pasti rasanya panas, ribet, dan untuk bernapas pasti cukup menyusahkan. lha wong kita pakai masker bahan saja 30 menit rasanya engap, apalagi mereka berjam-jam menggunakan masker N95.


Belum lagi banyak dari mereka yang kekurangan APD dan harus memakai jas hujan plastik. Lalu bagaimana mereka yang harus menahan haus dan lapar ketika bertugas di ruang isolasi. Kencing pun mereka harus menahan demi pelayanan prima pasien. 


Iyah, itu baru sekedar masalah fisik mereka. Batin mereka saya rasa cukup tersiksa. Ketika banyak pengakuan tenaga medis yang keluarganya rindu, anak-anak mereka yang selalu menanyakan. “Ayah kapan pulang?, Ibu kapan pulang?”. Mereka harus jawab apa, padahal mereka juga tidak tahu kapan covid-19 akan berakhir.


Saya pikir mereka tidak melakukan itu semua karna tuntutan pekerjaan. Bisa saja mereka berhenti untuk sementara dan diam dirumah bersama keluarga. Apalagi demi uang, jelas mereka bisa mencari alternative lain ya walaupun memang sulit. Jika mereka egois mementingkan nyawa sendiri dan keluarga, mudah saja mereka menolak bertugas. Tapi mulianya mereka tetap memilih mementingkan raga orang lain dan hanya karena rasa kemanusiaan. 


Sayangnya tenaga medis yang sudah mengusahakan pasien dengan rasa kemanusiaan ternyata tidak diperlakukan secara manusiawi ketika kembali kemasyarakat. Wahai masyarakat yang Budiman jika kalian merasa khawatir, ya jaga jarak bukan mengurak. Jika kalian takut, ya jaga diri jangan menghardik. Jika kalian waspada, lakukan pencegahan bukan berlebih sembarangan menaruh curiga.

Kalau dibilang masyarakat yang mengusir tenaga medis, menolak pemakaman jenazah covid-19 yang bahkan itu adalah mereka para perawat hanya karena kurang edukasi, baiklah saya mencoba untuk khusnudzon. Tapi jika tenaga medis sudah menjelaskan secara gamblang SOP pemakaman dan masyarakat masih menolak. Sepertinya itu bukan kurang edukasi, tapi hilangnya rasa manusiawi. 


Sekarang kita coba mengingat lagi, kasus keluarga jenazah covid-19 yang memaksa untuk membuka plastik jenazah. Dan akhirnya warga sekampung yang turut terlibat statusnya menjadi ODP. Mereka melakukan itu karena jenazah adalah anggota keluarganya, saudaranya. Jelas mereka merasa sedih ketika melihat anggota keluarganya meninggal dalam keadaan seperti itu.


Faktanya sekarang terbalik, mereka ternyata tidak konsisten. Kenapa tidak sekalian saja jenazah perawat covid-19 mereka makamkan dengan layak, mereka tangisi karena pengorbanannya yang begitu besar. Alih-alih mereka tolak dengan suara lantang karena dia adalah jenazah covid-19. Yha, ternyata kepedulian mereka sebatas pada saudara sedarah, bukan saudara kemanusiaan.


Padahal jika bukan saudara sedarah atau seiman. Masih ada kemanusiaan yang bisa jadi alasan mereka saling peduli, membantu, mengasihi. Indah rasanya jika itu kemanusiaan melekat antar sesama. Apalagi antara kita dengan tenaga medis. Meski waspada, setidaknya tanya kabar saling sapa, apa kalian baik-baik saja. 


Saya miris, tapi juga heran. kalau kurang edukasi bertindak konyol, kelebihan edukasi jadi waspada yang tidak berkemanusiaan. Pantas saja sinetron Indonesia ending-nya selalu dengan adzab, saling bermanfaat dan mengucapkan terima kasih. Ternyata masalah warga +62 adalah belum bisa mengucapkan maaf dan terima kasih yang berkemanusiaan.


Sumber gambar : Okezone.com

Penulis
Devi Nur Havifah
Pengetik mageran