Dorong Pemulihan dari Sumber Non-APBN, Pemerintah Maksimalkan Kebijakan Ekonomi Makro Tahun 2023

Pemerintah akan menyusun anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) tahun 2023 dengan hati-hati dan tetap memperhatikan ancaman pandemi serta tantangan-tantangan baru seperti inflasi global. Untuk itu, kebijakan ekonomi makro tahun 2023 akan mendorong pemulihan yang berasal dari sumber-sumber pertumbuhan yang tidak hanya tergantung pada APBN. APBN tetap akan suportif, namun sekarang peranan dari non-APBN menjadi lebih penting.

Saat ini konsumsi investasi ekspor mengalami kenaikan yang cukup tinggi. Kenaikan ini berasal dari institusi keuangan seperti perbankan. Sri Mulyani Indrawati selaku Menteri Keuangan mengatakan bahwa saat ini perbankan dengan dana pihak ketiga mencapai Rp 7.250 triliun dan loan to deposit ratio hanya 77 persen memiliki ruang untuk memulai mendukung pemulihan ekonomi dengan menyalurkan kredit. Pertumbuhan kredit saat ini juga sudah mulai pulih dan tumbuh di 5,2 persen, dari sebelumnya mengalami kontraksi pada tahun lalu. Sumber pertumbuhan juga berasal dari pasar modal, dalam hal ini pasar saham dan obligasi. Pasar saham mencapai Rp 7.231 triliun dan selama ini naik 3,77 persen, sementara pasar obligasi yang mencapai Rp 4.718 triliun naiknya 9,65 persen.

Tetapi ada beberapa dinamika lain dalam kondisi global yang harus di waspadai salah satunya adalah lonjakan inflasi dunia, terutama di negara-negara maju. Seperti diketahui, Amerika Serikat mencatatkaninflasi sebesar 7,5 persen pada bulan Februari ini dan hal tersebut akan mendorong kenaikan suku bunga dan pengetatan likuiditas. Hal tersebut tentu saja akan memberikan dampak spill over atau rambatan yang harus diwaspadai yaitu dalam bentuk capital flow yang akan mengalami pengaruh negatif dari kenaikan suku bunga. Dan juga dari sisi yield atau imbal hasil dari surat berharga tentu akan mendorong dari dalam hal ini biaya untuk surat utang negara. Selain di negara-negara maju, inflasi juga terjadi di negara-negara berkembang seperti Argentina dengan inflasi mencapai 50 persen, Turki mencapai 48 persen, kemudian Brasil 10,4 persen, Rusia 8,7 persen, dan Meksiko 7,1 persen. Kenaikan inflasi yang tinggi tentu akan bisa mengancam proses pemulihan ekonomi karena daya beli masyarakat tentu akan tergerus.

Saat ini Indonesia termasuk negara yang pemulihanekonominya cukup cepat. GDP Indonesia secara level sudah mencapai pre-covid level atau bahkan di atasnya.. Hal tersebut didukung oleh pemulihan baik dari sisi permintaan seperti konsumsi, investasi, dan ekspor, maupun dari sisi produksi yaitu manufaktur, perdagangan, dan konstruksi. Pemerintah menekankan agar pemulihan ekonomi harus didasarkan pada produktivitas yang tinggi. Produktivitas yang tinggi hanya bisa muncul dari perbaikan sumber daya manusia (SDM), infrastruktur, dan kualitas birokrasi serta regulasi. Itulah yang kemudian menjadi pokok bagi Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF).

Pemerintah juga mengidentifikasi pusat-pusat atau tren baru dari pertumbuhan ekonomi yang berasal dari beberapa hal. Pertama, sisi pola hidup normal baru sesudah pandemi, terutama berbasis kesehatan. Kedua, reformasi di bidang investasi dan perdagangan. Transformasi di sektor manufaktur baik itu industri mesin, elektronik, alat komunikasi, kimia, dan hilirisasi mineral menjadi sangat penting untuk menjadi roda atau lokomotif bagi pemulihan ekonomi. Ketiga, yang perlu untuk terus ditingkatkan adalah kesadaran ekonomi hijau di mana nilai ekonomi yang berasal dari karbon dan teknologi energi terbarukan akan menjadi sumber atau diandalkan menjadi sumber pertumbuhan yang baru. Hal-hal tersebut  yang akan didukung oleh APBN untuk tahun 2023, di mana pemerintah berharap pertumbuhan ekonomi tadi seperti disampaikan ada dalam range 5,3 hingga 5,9 persen.


Sumber gambar: kominfo.go.id

Penulis:

Siti Sofiatus Sa'adah