Oligarki Mengancam Ekonomi Pancasila

Sampai hari ini, demokrasi Indonesia masih tentang para elite, belum tentang ekonomi Pancasila dan kepentingan rakyat banyak. Ekonomi Pancasila merupakan sebuah sistem perekonomian yang berdasarkan pada lima sila dalam Pancasila. Terdapat lima ciri-ciri pokok pada konsep ekonomi Pancasila yaitu:

1. Dikembangkannya koperasi

2. Adanya komitmen pemerataan

3. Lahirnya kebijakan ekonomi  yang nasionalis

4. Perencanaan yang terpusat

5. Pelaksanaanya secara desentralisasi

Terlepas dari malapetaka yang berhasil mengeramatkan tanggal 1 Oktober, tampaknya saat ini jarang dibicarakan tentang Pancasila sebagai sebuah cita-cita demokrasi ekonomi yang sangat diidamkan oleh para pendiri dari dulu. Idealitas ideologis tentu hanya sekadar netral di atas kertas, namun cenderung distortif (penyimpangan) dan reduktif (pengurangan) pada tataran teknis operasionalnya. Dapat dipahami bahwa demokratisasi pastinya bukan sekadar urusan penyelenggaraan pemilihan umum yang jujur dan adil semata (procedural democracy) alias “schumpeterian democracy”. Tetapi juga tentang persamaan kesempatan serta segala usaha untuk mendukung kesamaan kapasitas semua warga negara di segala bidang persaingan (pemberdayaan/empowerment).

Dapat diartikan, persamaan kesempatan tidak hanya soal aturan main yang fair (fairplay), tetapi juga mengiringi upaya-upaya untuk menyeimbangkan kapasitas persaingan (playing level capacity), adanya proteksi untuk yang tak berdaya dan measurable support untuk yang lemah. Apalagi jika demokratisasi berjalan di bawah agenda setting liberalisasi ekonomi dengan panji-panji globalisasi. Pertaruhannya yaitu amanat konstitusi yang mengharuskan negara untuk melindungi segenap tumpah darah dan seluruh rakyat Indonesia.

Liberalisasi ekonomi akan mereduksi kekuasaan negara atas eksistensi pasar (self regulating market)dan membiarkan dinamika ekonomi bergerak dalam peta buta “invisible hand” ala Adam Smith. Darwanisme ekonomi semacam ini akan memperbesar ketimpangan ekonomi, kerusakan alam, dan mendorong terjadinya alienasi sosial terhadap lapisan masyarakat yang tak berdaya, masyarakat yang terpinggirkan oleh ganasnya persaingan kehidupan sosial ekonomi. Agenda kesejahteraan sosial juga akan tersubordinasi ke bawah bayang-bayang kepentingan pihak-pihak yang kuat atau pemilik modal, bahkan oligarki. Pasal 33 UUD 1945 yang berfungsi sebagai roh dari demokrasi ekonomi Pancasila akan terus digiring menjauh dari idealitas konstitusionalnya. Bung Hatta sudah berjibaku hampir setengah mati untuk memperjuangkan Pasal 33 tersebut masuk ke dalam batang tubuh UUD 1945 di tengah-tengah sengitnya percaturan ideologi antara sayap kiri dan sayap kanan di masa lalu.

Liberalisasi ekonomi yang ingin dipagari oleh pasal Bung Hatta akan membuat kekuasaan pemerintah (penguasa) menjadi tumpul pada sisi-sisi tertentu dan dialihkan pada mekanisme dan dinamika pelaku pasar, baik domestik maupun global. Namun di sisi lain, penguasa (atau calon penguasa) kian membutuhkan sumber-sumber dana alternatif untuk memenangkan kontestasi demokrasi yang semakin mahal. Sehingga situasi dilematisnya adalah bahwa di satu sisi kekuasaan politik terhadap dinamika ekonomi relatif konstan, bahkan tak jarang malah berkurang, namun disisi lain aktor-aktor ekonomi (pengusaha, konglomerasi, oligar) terjun ke arena politik untuk menawarkan sumber-sumber dana alternatif demi membiayai kontestasi demokrasi (political financing) yang kian mahal tersebut.

Dalam relasi mutualisme simbiosis semacam itulah barter dan konsesi-konsesi ekonomi politik dilahirkan (Stein Ringen, Journal Democratization, vol.11, April 2004). Di bawah agenda setting seperti itu, akhirnya aglomerasi modal hanya akan berpusat di lingkaran segelintir elite ekonomi (konglomerasi/oligarki) yang mampu menjamin ketersediaan dana untuk menutupi ongkos kontestasi demokrasi yang super mahal. Sudah bisa dipastikan, relasi ekonomi politik koruptif seperti itu akan menjadi biang perlambatan pembangunan dan meningkatkan disparitas antara kalangan berada (the have) dengan kalangan papa (the have not) alias minimnya pemerataan.

Disparitas pendapatan yang menyakitkan tersebut tentu bukan isapan jempol belaka. Kian hari, daftar 50 orang terkaya Indonesia berlomba menambah hartanya untuk mengejar peringkat tertinggi versi majalah Forbes, misalnya. Kecepatan penambahan harta mereka berlipat dibanding peningkatan gaji pekerja atau standar hidup rakyat kebanyakan. Mereka seolah-olah berlomba mengokupasi kavling demi kavling kekayaan nasional Indonesia atas nama prestise dan kebanggaan diri, bersamaan dengan pemerintahan yang kian cenderung berposisi sebagai penjaga pertumbuhan harta kekayaan para oligar demi lancarnya pembiayaan politik di satu sisi dan konstribusi pada pendapatan negara di sisi lain. Bahkan pemerintah cenderung berwatak "sosialis" di saat para pembesar bisnis mulai mengalami "gagal pasar," tapi sangat "liberal kapitalis" kepada rakyat di saat yang sama, dengan melepas kran-kran proteksi pada bidang dan produk yang semestinya diproteksi atas nama kepentingan publik.

Skandal BLBI adalah salah satu contoh betapa "sosialis"-nya pemerintah kepada para pembesar bisnis, atau penanaman modal negara pada BUMN dari tahun ke tahun yang nominalnya hampir selalu lebih besar ketimbang kontribusi langsung BUMN pada pendapatan negara. Atau alokasi dana PEN (Pemulihan Ekonomi Nasional) yang angkanya jauh lebih besar untuk para pengusaha ketimbang untuk rakyat, ditambah perundangan-perundangan baru yang cenderung menaikkan rasa percaya diri para pembesar bisnis ketimbang kepercayaan diri rakyat kebanyakan.

Dalam kacamata ekonomi neoklasik, apa yang dilakukan pemerintah tentu masih bisa ditoleransi, terutama terkait dengan intervensi di saat kegagalan pasar (market failure) terjadi. Tapi dalam kacamata pembangunan (developmentalism), intervensi pemerintah semestinya menghasilkan penguatan fundamental ekonomi nasional, bukan malah memperbesar pembatas antara rakyat kebanyakan dengan kelompok oligarki yang kian hari kian leluasa mengokupasi berbagai lini pengambilan kebijakan publik. Fundamental ekonomi Indonesia tetap rapuh, meskipun disembunyikan secara apik di balik angka-angka makro ekonomi yang moderat. Pemerintah sangat terobsesi menginjeksikan "virus pemerintah kuat" ke dalam tubuhnya di satu sisi, tapi gagal membangun pilar Pasal 33 UUD 1945 yang kuat alias gagal menginjeksikan vitalitas dan keperkasaan bisnis ke dalam BUMN-BUMN yang terkait dengan hajat hidup orang banyak dan nyaris gagal total menjadikan koperasi sebagai salah satu tulang punggung perekonomian nasional.

Secara politik, meminjam istilah dari John West dalam bukunya "Asia on the knife edge" (2018), demokrasi Indonesia kini hanya tersisa sebagai “demokrasi dari beberapa, untuk beberapa, dan oleh beberapa.” Sementara secara ekonomi, meminjam istilah Jeffrey Winters dalam bukunya "Oligarch (2011)," para oligar yang sebelumnya berpusat di bawah satu tangan Soeharto (Winters menyebutnya Sultanic Oligarch) kini berkeliaran di dalam sistem ekonomi dan politik yang berpotensi menggeser demokrasi Pancasila menjadi "criminal democracy." Walhasil sampai hari ini, demokrasi Indonesia masih tentang para elite, belum tentang ekonomi Pancasila dan kepentingan rakyat banyak.

Demokrasi Indonesia masih tentang para elite, belum tentang ekonomi Pancasila dan kepentingan rakyat banyak. Apalagi demokratisasi berjalan di bawah agenda setting liberalisasi ekonomi dengan panji-panji globalisasi. Ketimpangan ekonomi, kerusakan alam, dan mendorong terjadinya alienasi sosial terhadap lapisan masyarakat yang tak berdaya, masyarakat yang terpinggirkan oleh ganasnya persaingan kehidupan sosial ekonomi. Agenda kesejahteraan sosial juga akan tersubordinasi ke bawah bayang-bayang kepentingan pihak-pihak yang kuat atau pemilik modal, bahkan oligarki. Dalam kacamata pembangunan (developmentalism), intervensi pemerintah semestinya menghasilkan penguatan fundamental ekonomi nasional, bukan malah memperbesar pembatas antara rakyat kebanyakan dengan kelompok oligarki yang kian hari kian leluasa mengokupasi berbagai lini pengambilan kebijakan publik. Fundamental ekonomi Indonesia tetap rapuh, meskipun disembunyikan secara apik di balik angka-angka makro ekonomi yang moderat. Sehingga kini berkeliaran di dalam sistem ekonomi dan politik yang berpotensi menggeser demokrasi Pancasila menjadi "criminal democracy."


Sumber gambar: accurate.id

Penulis: 

Lailatun Nafis

(Kader forshei 2021)