Apa Bener Kalo Prakerja Huruf P nya Dibuang Jadi (O)Ra Kerja?



19 tahun sudah saya masih terus ada, bergerak, dan bekerja sebagaimana mestinya (baca: arti hidup dalam KBBI). Semakin kesini kok semakin ngga ada nilai hidupnya (baca: alternatif menjalani hidup dengan rebahan). Ada si iya sayanya ada. Tapi banyak bergerak ya kagak. Bekerja juga nggak kaya semestinya lagi karena ada corona. Total saya cuma dapet 1 poin buat memenuhi kriteria hidup menurut KBBI, dong! Huhu.

Untuk mendapatkan motivasi hidup sebagai mahasiswa pengangguran saya coba menggali kilas balik soal alasan saya kuliah kemarin (baru semester 2 soalnya).

Dulu kalo kata istri bapak saya bilang, “Nak, belajar yang benar ya biar pintar. Nanti kalau sudah lulus jadi gampang nyari kerja.”

Persoalan kalimat itu mungkin nggak hanya datang dari istri bapak saya (baca: ibu saya) tetapi bisa jadi udah jadi bualan nasehat yang cukup mainstream di kalangan orang tua dan anak.

Motifnya sih buat menanamkan mental semangat belajar ke si anak tetapi apa nggak malah mental pelamar (kerja)nya yang tertanam?  

Hmm, bukannya saya memunculkan pandangan negatif tetapi apakah mental mencari kerja masih relevan dengan situasi-kondisi negara saat ini? 

Jika menelisik alasan utama seseorang mencari kerja, kita akan menemukan titik temu dari salah tiga jawaban: Pertama, karena dia masih pengangguran. Kedua, karena dia butuh uang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Ketiga, untuk cari jodoh lintas dunia dan akhirat, nah loh? jomblo jangan terlalu ngarep.

Soal ketenagakerjaan saat ini kita telah dikejutkan dengan merebaknya virus corona. Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati  diprediksi  sedikitnya 5,2 juta rakyat Indonesia menganggur, artinya bahwa akan ada 5,2 juta orang baru. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) yang berkompetisi bersama ada 7,05 juta yang lain untuk mendapatkan pekerjaan.

Itu masih jadi prediksi Ibu Sri Mulyani selaku Menteri Keuangan. Tetapi tetap saja jumlahnya cukup membuat merinding, ya!

Untuk menanggulangi masalah tersebut ceritanya pemerintah meluncurkan program kartu prakerja yang telah berjalan sejak 11 April lalu. Tak tanggung-tanggung pemerintah dengan segan menggelontorkan dana 20 triliun dan menggandeng 8 platform mitra untuk proyek ini.

Mulai dari Pijar Mahir, Tokopedia, Kementerian Ketengakerjaan, Pintaria, Bukalapak, Mau Belajar Apa, Sekolahmu hingga Ruang Guru lewat SkillAcademy yang sempat memicu pro-kontra. Pasalnya Belva Devara yang sejak awal menjabat sebagai Direktur Utama sekaligus CEO Ruang Guru memutuskan melepaskan jabatannya sebagai Staff Khusus Presiden karena si proyek ini. Hmm, cukup membuat perbedaan tafsir juga.. 

Awalnya program ini adalah gebrakan besutan Jokowi yang dipromosikan saat pemilu lalu untuk menangkal pengangguran serta sebagai pembekalan keterampilan untuk menghadapi industri 4.0. Namun tampaknya program ini diluncurkan kemudian untuk menangkal dampak corona di bidang ketenagakerjaan. Semacam kartu sakti penangkal nasib buruk gitu sepertinya.

Ya saya sih setuju-setuju aja kalau kartunya juga bisa menjamin nasib baik saya. Tetapi, mari kita coba analisis dengan nalar mahasiswa penggangguran kaya saya:

#1. Nalar Triliunan untuk Jutaan Orang lewat 8 Platform 

Jadi dana 20 triliun untuk program ini nggak semuanya diberikan kepada peserta pelatihan dalam bentuk tunai, gaes. Ceritanya nanti masing-masing perserta yang lolos seleksi akan mendapatkan dana non-tunai berjumlah 1 juta rupiah di akunnya. Dana ini harus digunakan untuk mengakses berbagai macam video pelatihan yang masing-masing sudah jelas harganya.

 Ibaratnya 1 juta ini adalah saldo gopay kita. Kita bisa beli berbagai makanan di gofood sampai saldonya nol. Begitulah.. Padahal jika dipikir-pikir kalau soal pelatihan virtual kita bisa dapetin secara mudah dan pastinya gratis di youtube. Ndak perlu ngrepotin negara. Ngabot-aboti anggaran.

#2. Nalar Memancing Online 

Yang jadi lucu tuh gini (ketawa dulu) saya kemarin lihat-lihat berita di berbagai media soal testimoni orang-orang yang udah njajal program ini. Dilansir dari TEMPO.CO yang paling wagu dan lucu ketika saya tahu ternyata ada juga kelas memancing yang ditawarkan bahkan dengan harga 799 ribu rupiah. Ndok..ndok.. kalau saya yang ikut saya udah pasti kena bully kerabat saya di kampung.

Bukannya nyeleneh, saya juga pernah belajar mancing sama kerabat saya itu di blumbang deket rumahnya setiap pulang kampung. Yang saya pahami kalau mau belajar mancing itu harus ada kolamnya, ada ikannya, dan ada umpannya. Nangkepnya juga ngga sembarangan, bor! Anda harus pakai naluri, Ini serius!  Yang terpenting itu hasilnya, kalo nangkepnya lewat layar smartphone mana bisa bikin kenyang? Wong ikannya nggak ada!

#3. Nalar Jika Saya yang Dapat Lamaran Nikah Kerja Alumni Jebolan Program 

Seperti yang kita tahu jebolan program kartu prakerja bakal dapet yang namanya sertifikat tanda telah ikut pelatihan (virtual) sebagai kenang-kenangan. Terus masalahnya dimana? Ya masalah dong! coba aja dipikir. 

Nih ya, misal saya jadi bos mojok (hehe) terus ada orang yang mau ngelamar kerja sama saya. Dibawalah tuh tanda udah ikut pelatihan jurnalis terus saya lihat dong sertifikatnya terus kaget dong yang tanda tangan si Belva yang ngga ada seluk-beluknya tuh di bidang jurnalistik. Sudah pasti saya tolak lah kalau dia hanya pakai sertifikat itu dan nggak ada pembuktian lain. 

#4.Nalar Ketidaksebandingan Lapangan Pekerjaan 

Ini sih bukan apa-apa ya, tapi sebagai mahasiswa yang pernah SMA dan dapet mata pelajaran lintas ekonomi dulu (anak IPA soalnya) mencoba memberi sedikit argumen. Misal nih, eh ternyata program ini bener-bener bisa buat semua pengangguran jadi terampil dan punya keahlian khusus yang mudahin dia diterima kerja (Aamiin). Okelah, tapi kalau ternyata lapangan kerjanya nggak sebanyak jumlah orang yang cari kerja gimana dong?

Tetep aja ini jadi balik ke pertanyaan awal, apakah mental mencari kerja masih relevan?   

Jika yang dicari saja ndak ada, terus mau nyari apa?

Jangan sampe p di kata prakerja beneran hilang, nanti bisa-bisa jadi (o)ra kerja (baca:tidak kerja). 

sumber gambar: indonesia.go.id 

Penulis: 
Hanya Manusia Biasa