AKUNTANSI SYARI’AH ANTARA IDEALISME, PRAGMATISME DAN REALITAS

AKUNTANSI SYARI’AH ANTARA IDEALISME, PRAGMATISME DAN REALITAS
oleh : kader ForSHEI



Kehadiran lembaga keuangan syariah yang kini berkembang pesat membawa pembaharuan yang sangat positif bagi tata sistem keuangan di dunia saat ini.  Sebagai representasi dari hukum dan sistem ekonomi islam (muamalah), lembaga keuangan syariah membawa nilai-nilai positif dalam berekonomi. Nilai tersebut didasarkan kepada al-Qur’an dan al-Hadits, yakni nilai ketuhanan, keadilan dan kemakmuran, khilafah dan tanggungjawab serta bebas dalam bertindak.

Kehadiran lembaga keuangan syariah sendiri merupakan sebuah respon terhadap sistem bunga (fixed interest) yang diterapkan lembaga keuangan konvensional sebagai entitas dari ekonomi konvensional di dunia. Dalam prakteknya lembaga keuangan syariah menggunakan skim bagi hasil yang lebih responsif dan partisipatif dengan nilai-nilai keadilan.
Hadirnya lembaga keuangan syariah merupakan buah hasil dari pemikiran para mujtahid muslim di paruh pertama Abad 20an, di antaranya Anwar Qureshi (1946), Naiem Siddiqi (1946), dan Mahmud Ahmad (1952), Mawdudi pada  (1961), dan tulisan-tulisan Muhammad Hamidullah  pada tahun 1994, 1955, 1957, dan 1962.
Pendirian pertama institusi keuangan dengan prinsip free interest dilakukan pada tahun 1963 di desa Mit-Ghamr, Mesir. Meski akhirnya ditutup karena berbagi alasan setelah sebelumnya tumbuh mengesankan, namun lembaga keuangan ini menandai kebangkitan ekonomi Islam di dunia melalui lembaga keuangan syariah. Di antaranya Nasser Sosial Bank (1972), Dubai Islamic Bank (1975), Faisal Islamic Bank, dan Islamic Development Bank (1975) di tingkat Internasional. Tidak berhenti di sektor perbankan, lembaga keuangan syariah lain mulai lahir dan bergeliat di paruh kedua abad 20 hingga sekarang. Tidak hanya di dunia muslim, di barat pun demikian, kini banyak perbankan konvensional barat yang membuka Islamic Windows, seperti Jardine Fleming, Citi Bank, HSBC, dan ANZ Bank.
Di Indonesia, kehadiran lembaga keuangan syariah ditandai dengan lahirnya PT. Bank Muamalat Indonesia (1991) dan kemudian disusul oleh BMT (1994), asuransi takaful (1994), Reksadana Syariah (1997) dan juga pasar modal syariah (2003). Namun, selama kurun waktu 1992 hingga 2002, kehadiran bank dan lembaga kuangan syariah di Indonesia belum ditunjang dengan sistem pelaporan keuangan (akuntansi) yang sesuai dengan hukum ekonomi Islam.
Adapun akuntansi sebagai instrumen bisnis tidak bisa dikatakan bebas nilai, tetapi sebaliknya, akuntansi adalah instrumen yang sarat nilai. Dalam hal ini, akuntansi konvensional secara implisit menggunakan konsep teori entitas (entity theory) yang bila dikaji secara mendalam sebetulnya banyak didasarkan pada nilai-nilai kapitalisme dan utilitarianisme, di mana konsep tersebut tidak bisa ditawar oleh syariat Islam dan tidak semestinya digunakan oleh lembaga keuangan syariah (Muhammad;2005 dan Triyuwono;2006). Oleh sebab itu pula, kehadiran akuntansi syariah yang bernafas islami adalah konsekuensi logis dari hadirnya lembaga keuangan syariah yang masih didominasi segmentasi lembaga perbankan.
Di Indonesia, pedoman standar akuntansi syariah pertama yang diterbitkan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) ialah pedoman standar akuntansi keuangan No. 50 (PSAK No. 59) tentang akuntansi perbankan syari’ah sebagai perwujudan respon kebutuhan lembaga keuangan syariah.
PSAK No. 59 yang diterbitkan oleh IAI banyak mereferensi pada standar yang dilakukan oleh Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institution (AAOIFI) pada tahun 1998 di bahrain yaitu Accounting and Auditing Standards for Islamic Financial Institution yang terlebih dahulu hadir di level internasional (Akhyar Adnan: 2005). Akan tetapi, baik pedoman standar yang diterbitkan oleh AAO-IFI maupun IAI mendapatkan kritik keras dari beberapa pakar. Apakah konsepsi yang ditawarkan dalam pedoman standar yang diterbitkan kedua lembaga tersebut sudah sesuai dengan idealisme syariah atau belum.
PEMBAHASAN
SEJARAH PERKEMBANGAN AKUNTANSI SYARIAH DI ERA MODERN
Wacana tentang akuntansi syariah merupakan efek logis dari munculnya entitas syariah. Sejak saat itu, banyak tulisan atau publikasi tentang akuntansi syariah oleh para pakar, misalnya Abdel-Magid (1981), Ba-Yunus (1988), Badawi (1988), Hayashi (1989), Adnan (1997), dan Triyuwono (1997).
Pengembangan di antara wacana tersebut telah dibawa ke dalam sebuah kajian akuntansi keuangan bank islam yang dimulai pada tahun 1987. Sedikitnya lima volume telah terkumpul dan tersimpan di perpustakaan Islamic Research and Training Institute, Islamic Development Bank (IDB). Studi itu telah mendorong pembentukan Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions (AAO-IFI/ Organisasi Akuntansi Keuangan untuk Bank dan Lembaga Keuangan Islam) pada tahun 1991 di Bahrain (Muhammad:2005).
Kemudian, dalam proses selanjutnya AAO-IFI mampu menerbitkan copteptual framework yang dituangkan dalam Statements of Financial Accounting No. 1 dan 2, dilengkapi dengan 10 Finacial Accounting standards. Meski belum sepenuhnya mendapat dukungan mutlak dari negara-negara yang menerapkan perbankan syariah, setidaknya conteptual framework tersebut menjadi acuan banyak negara dalam mengatasi kebutuhan akuntansi syariah. Indonesia sendiri sudah memanfaatkannya, baik kerangka konseptual maupun standarnya sebagai acuan utama dalam menyusun standar akuntansi untuk perbankan syariah. Namun, untuk kebutuhan yang lebih luas di industri luar perbankan syariah, perkembangannya belum signifikan, karena masih dalam bentuk konseptual yang belum terwujud adanya pedoman standar baku yang dapat dijadikan acuan dalam pembukuan akuntansi (Akhyar adnan: 2005).
Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) sebagai lembaga resmi yang berwenang menerbitkan pedoman standar akuntansi (PSAK) di Indonesia menerbitkan PSAK syariah pada tanggal 1 Mei 2002 yakni Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan No. 50 (PSAK No. 59) tentang akuntansi perbankan syaria’ah. Terbitnya PSAK No 59 ini merupakan langkah maju bagi IAI sendiri dan dunia perbankan syari’ah di Indonesia. PSAK syariah tersebut baru resmi diterapkan di dunia perbankan Indonesia pada 1 Januari 2003. Dengan diterbitkannya PSAK No. 59 memberikan angin segar bagi perbankan syariah yang sebelumnya masih menggunakan akuntansi konvensional untuk tetap berusaha mengimplementasi nilai-nilai syariah secara menyeluruh.
Sebelumnya, Di tahun 2000 Dewan Syariah Nasional (DSN) telah menerbitkan Fatwa No. 14/ DSN-MUI/ IX/ 2000 tentang sistem distribusi hasil usaha dalam lembaga keuangan syariah. Menimbang bahwa (1) accrual basis yakni prinsip akuntansi yang membolehkan pengakuan biaya dan pendapatan didistribusikan pada beberapa periode. (2) cash basis yakni prinsip akuntansi yang mengharuskan pengakuan biaya dan pendapatan saat terjadinya. Pertimbangan tersebut dilengkapi dengan pertimbangan dari Dewan Standar Akuntansi Keuangan IAI yang memutuskan (1) pada prinsipnya, lembaga keuangan syariah boleh menggunakan sistem accrual basis maupun cash basis dalam administrasi keuangan, dan (2) dilihat dari segi kemashlahatan (al-ashlah) dalam pencatatan sebaiknya digunakan sistem accrual basis, tapi dalam distribusi hasil usaha hendaknya ditentukan atas dasar penerimaan yang benar-benar terjadi (cash basis). Semua dengan catatan bahwa penerapan sistem harus disepakati dalam akad (Dwi Suwiknyo: 2010)
Perkembangan selanjutnya, pada tahun 2007 IAI membuat standar baru yang melebur bebarapa standar akuntansi syariah yang telah diterapkan dalam PSAK No. 59 tahun 2002. Selain itu juga dilengkapi dengan Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Syariah (KDPPLKS). PSAK Syariah yang telah disahkan ialah (1) PSAK 101 tentang penyajian laporan keuangan syariah, (2) PSAK 102 tentang akuntansi murabahah, (3) PSAK 103 tentang akuntansi salam, PSAK 104 tentang akuntansi istishna’, PSAK 105  akuntansi mudharabah, dan PSAK 106 tentang Akuntansi Musyarakah yang masih berlaku hingga saat ini (Dwi Suwikno: 2010).
AKUNTANSI SEBAGAI INSTRUMEN SARAT NILAI
Nilai Egoisme Akuntansi Konvensional
Francis (1990) mengatakan bahwa akuntansi sebagai alat bisnis bukanlah sebuah instrumen “mati”, akuntansi adalah praktik moral dan diskursif. Sebagai praktik diskursif, akuntansi dipandang sebagai alat untuk menyampaikan “sesuatu” atau informasi kepada orang lain. Informasi yang disampaikan oleh akuntansi tadi akan berpengaruh pada prilaku penggunanya. Dan sebaliknya pengguna informasi akuntansi (atau masyarakat bisnis) juga mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi akuntansi sebagai instrument bisnis.
Oles sebab itu penggunaan akuntansi oleh seorang akuntan harus hati-hati dalam mengkonstruk, menggunakan dan mengkomunikasikannya, artinya akuntansi secara ideal dibangun dan dipraktikkan berdasarkan nilai-nilai etika, sehingga informasi yang dipancarkan juga bernuansa etika. Dan akhirnya keputusan-keputusan ekonomi yang diambil berdasarkan etika tadi mendorong diciptakannya realitas ekonomi dan bisnis yang beretika (Triyuwono: 2006).
Sebagaimana yang diungkapkan di atas, maka akuntansi sebagai instrumen sarat nilai mempunyai beberapa unsur pembangun yang tidak bisa lepas dari realitas penggunaan akuntansi itu sendiri. Dalam hal ini, akuntansi konvensional yang telah eksis terlebih dahulu sebagai anak budaya dari perilaku pelaku ekonomi konvensioal mempunyai nilai-nilai filosofis seperti apa yang menjadi asumsi dasar ekonomi konvensional. Artinya, akuntansi konvensional juga mewakili corak implementasi ekonomi konvensional yang dianggap tidak beretika dalam syariat islam.
Nilai dalam akuntansi konevensional begitu jelas terlihat dari teori pembangunnya yaitu teori kepemilikan (proprierity theory), teori kekayaan (entity theory) dan teori dana (fund theory). Seperti apa yang diungkapkan oleh Kam Vernon (1990) bahwa teori tersebut sarat dengan egoistik ekonomi kapitalisme, terutama teori entitas yang menekankan pada penentuan income perusahaan. Penekanan pada income mempunyai dua alasan: (1) equity holder terutama mempunyai kepentingan terhadap income, karena jumlah ini menunjukkan hasil investasi mereka dalam periode tersebut; dan (2) perusahaan akan eksis bila menghasilkan laba. Dan menurutkan Kam, peruntukan income adalah semata-mata kepada pemegang saham merupakan bentuk pandangan yang sarat dengan nilai egoisme. Nilai tidak lain adalah nilai yang dimiliki oleh yang. Nilai ini selanjutnya akan berkembang menjadi ekspansif, yang dalam neraca terlihat pada Laba yang ditahan.
Selanjutnya Triyuwono (2006) mengungkapkan bahwa jika dalam penggunaan akuntansi memakai konsep berpasangan (double entry bookkeeping), maka sifat egoistik tidak akan pernah dibiarkan sendirian. Sifat egoistik harus diimbangi oleh sifat alturistik yang feminim. Sifat altruistik ini akan terlihat bila akuntansi menggunakan konsep value-added income. Jelas Triyuwono, konsep tersebut menurut Kam adalah ukuran kinerja, pengukuran nilai atau kekayaan yang diciptakan perusahaan dalam periode tertentu. Ukuran tersebut mengukur kinerja dari partisipan di perusahaan tersebut.
Lanjut Triyuwono, Implikasi lain dari sifat egoitik akuntansi konvensional tercermin dalam konsepnya yang hanya mengakui biaya-biaya pribadi (private cost) yang kerap disebut internalities, sebagai lawan dari eternalities (public cost) yang meliputi biaya-biaya tanah, air, udara dan suara. Sementara akuntansi konvensional belum mampu mengakomodir public cost yang terjadi akibat aktivitas bisnis perusahaan, tetapi sebaliknya yang menanggung adalah masyarakat (dan alam) secara keseluruhan. 
Nilai Dasar Akuntansi Syariah
Dalam beberapa dekade terakhir, terdapat perubahan besar dalam bidang akuntasi. Pendapat sebelumnya yang menyatakan bahwa akuntansi sebagai instrumen bebas nilai mulai digoyang oleh beberapa pakar termasuk Kam, Francis, dan Triyuwono yang menyatakan bahwa akuntansi adalah instrumen bisnis sarat nilai.
Sebelumnya, ketika bank syariah muncul ke permukaan terdapat banyak pertanyaan yang timbul atas proses pelaporan keuangan yang digunakan, karena pada saat itu masih menggunakan sistem akuntansi konvensional. Termasuk juga keberadaan perbankan syariah di Indonesia dalam kurun waktu 10 tahun pertama belum mempunyai pedoman standar akuntansi yang sesuai syariah.
Istilah akuntansi syariah di Indonesia pertama kali muncul atas ekspos harian Republika yang mengupas tentang disertasi PhD Triyuwono yang berjudul Shari’ate Organisation and Accounting: the reflection of self’s faith and konowledge pada tahun 1995 di University of Wollongong, Australia yang diterjemahkan oleh LKiS dengan judul Organisasi dan Akuntansi Syariah (Triyuwono; 2006)
Seperti yang dikutip oleh Muhammad (2005), Triyuwono dan Gaffikin menilai bahwa salah satu upaya untuk mendekontruksi akuntansi modern ke dalam bentuk yang humanis dan syarat nilai. Tujuan diciptakannya akuntansi syariah adalah terciptanya peradaban bisnis yang humanis, emansipatoris, transendental dan teologikal. Konsekuensi ontologis upaya ini adalah bahwa akuntan secara kritis harus mampu membebaskan manusia dari ikatan realitas peradaban, beserta jaringan-jaringan kuasanya, kemudian memberikan atau menciptakan relalitas alternatif dengan seperangkat jaringan-jaringan kuasa Ilahi yang mengikat manusia dalam hidup sehari-sehari (ontologi tauhid). Atau dengan kata lain bahwa secara ontologis, akuntansi syariah pada dasarnya ingin membebaskan manusia dari jaringan kuasa kapitalistik, atau jaring kuasa semua lainnya yang membuat semu orientasi hidup manusia atau berpaling dari kuasa Tuhan.
Untuk mencapai tujuan tersebut, Ahmed Riahi-Bekaoui (1992) mengajukan lima nilai etika yang elemen dasar dalam moralitas akuntansi. Nilai tersebut ialah fairness, ethics, honesty, social reponsibility dan truht. Kelima nilai etika tersebut secara menyeluruh menjadi tiang dasar dari tegaknya akuntansi syariah sebagai instrumen bisnis.
Fairness merupakan perwujudan sifat netral dari seorang akuntan dalam menyiapkan laporan keuangan sebagai sebuah indikasi bahwa prisip, prosedur dan teknik-teknik akuntansi harus fair, tidak bias dan tidak parsial. Nilai etika (ethics) erat kaitannya dengan profesi akuntan yang harus memperhatikan nilai moral dari sebuah lingkungan. Nilai honesty adalah unsur yang dapat menjamin terciptanya atau bertahannya kepercayaan masyarakat umujm terhadap profesi akuntansi. Nilai social responsibility adalah unsur yang keempat yang pada dasarnya erat kaitannya dengan persepsi seseorang tentang perusahaan. Perusahaan tidak lagi dipandang sebagai sebuah entitas yang semata-mata mengejar laba (profit) untuk kepentingan pemilik perusahaan (shareholder), atau untuk kepentingan yang lebih luas, yaitu stakeholder namun juga kepada lingkungan sosial.
Kemudian nilai yang terakhir ialah truth. Truth dalam hal ini dapat diartikan sebagai netralitas dan objektivitas. Truth sebagai netralitas menunjukan bahwa seorang akuntan harus bersikap netral, seperti apa adanya, tidak menyediakan informasi dengan cara tertentu yang cenderung menguntungkan suatu pihak dan merugikan pihak yang lain. Sedangkan truth yang memeiliki nilai objektif harus menunjukkan empat pengertian, yaitu a) ukuran yang digunakan dalam akuntansi harus bersifat impersonal, b) ukuran tersebut berdasarkan bukti-bukti yang diverifikasi, c) ukuran tersebut harus berdasarkan konsensus para ahli yang dipercaya dan d) terdapat kerampingan (narrowness) dispersi statistik dari ukuran-ukuran yang digunakan bila ukuran-ukuran tersebut dibuat oleh orang yang berbeda. Unsur morlitas dalam akuntansi merupakan bagian penting dalam memberikan suatu persepsi bahwa sebenarnya akuntansi tidak terlepas dari nilai-nilai etika.
IDEALISME DAN PRAGMATISME AKUNTANSI SYARIAH
Perkembangan akuntansi syariah yang ditujukan untuk menunjang perkembangan industri lembaga keuangan syariah, hingga kini masih menjadi diskursus serius di kalangan akademisi akuntansi. Diskursus tersebut ditujukan untuk mengetahui hubungan dengan pendekatan dan aplikasi laporan keuangan sebagai bentukan dari konsep dan teori akuntansinya. Perbedaan-perbedan yang terjadi mengarah pada posisi diametral pendekatan teoritis antara aliran akuntansi syariah pragmatis dan idealis.
Aliran pragmastis menilai bahwa basic teori dan konsep akuntansi syariah tidak perlu jauh berbeda dengan akuntansi konvensional selama tidak menanggalkan nilai syariah Islam. Sedangkan aliran Idealis menginginkan adanya perbedaan yang hampir menyeluruh antara akuntansi syariah dan akuntansi konvensional. Lebih jelasnya modifikasi yang dilakukan saat ini oleh aliran pragmatis seperti penggunaan akuntansi dalam perusahaan Islami yang memerlukan legitimasi pelaporan berdasarkan nilai-nilai Islam dan tujuan syariah.
Asimilasi akuntansi konvensional terhadap akuntansi syariah memang terpola dalam kebijakan akuntansi seperti Accounting and Auditing Standards for Islamic Financial Institutions yang dikeluarkan AAO-IFI secara internasional dan begitu juga PSAK No. 59, 101-106 di Indonesia yang merujuk terhadap AAO-IFI.
Di sisi lain, aliran akuntansi syari’ah idealis melihat asimilasi jelas tidak dapat diterima. Secara filosofis, akuntansi konvensional merupakan representasi pandangan dunia Barat yang kapitalistik, sekuler dan liberal serta didominasi kepentingan laba (Triyuwono 2006 dan Mulawarman 2006a). Dan hal tersebut itu jelas berpengaruh terhadap konsep dasar teoritis sampai bentuk teknologi akuntansi syariah. Keberatan aliran idealis terlihat dari pandangannya mengenai Regulasi AAO-IFI maupun PSAK No. 59, dan 101-106 IAI yang dianggap masih menggunakan konsep akuntansi modern yang berbasis entity theory (seperti penyajian laporan laba rugi dan penggunaan going concern dan accrual basis  dalam PSAK No. 59). Hanya saja secara tekstual, terdapat informasi tambahan berkaitan pengambilan keputusan ekonomi dan kepatuhan terhadap prinsip syari’ah.
Dan aliran idealis melihat bahwa regulasi bentuk laporan keuangan yang dikeluarkan AAO-IFI, mengeluarkan bentuk laporan keuangan yang tidak berbeda dengan akuntansi konvensional (neraca, laporan laba rugi dan laporan aliran kas) dan juga menetapkan beberapa laporan lain seperti analisis laporan keuangan mengenai sumber dana untuk zakat dan penggunaannya; analisis laporan keuangan mengenai earnings atau expenditures yang dilarang berdasarkan syari’ah; laporan responsibilitas sosial bank syari’ah; serta laporan pengembangan sumber daya manusia untuk bank syari’ah
KRITIK TERHADAP PSAK SYARIAH DI INDONESIA
Terbitnya PSAK No 59 Pada tanggal 1 Mei 2002 merupakan langkah maju bagi: (1) IAI sendiri sebagai lembaga professional yang memiliki otoritas untuk menerbitkan standar akuntansi keuangan dan (2) dunia perbankan syari’ah di Indonesia yang mulai eksis sejak tahun 1992. PSAK ini banyak mereferensi pada standar yang dilakukan oleh Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institution (AAO-IFI) pada tahun 1998 yaitu Accounting and Auditing Standards for Islamic Financial Institution. Dan Selama sepuluh tahun pertama itu pula, perbankan syariah di Indonesia masih menggunakan pedoman standar yang ada.
Dalam perjalanannya, kedua pedoman standar akuntnasi tersebut masih banyak dipengaruhi oleh akuntasi konvensional. Meski demikian banyak instrumen yang dicantumkan ke dalam PSAK syariah sebagai entitas dari syariat Islam, seperti sumber dan penggunaan dana zakat, infak dan shodakoh serta laporan sumber dan penggunaan dan Qordul hasan.
Sebagaimana yang diungkapkan Baqir al-sadr bahwa “ekonomi Islam bukanlah satu pelajaran tetapi sebuah teori, artinya metode dan alat belajar untuk menafsirkan”. Oleh karena itu, akuntansi syariah sebagai entitas ekonomi Islam adalah teori yang mengalokasikan sumber-sumber yang ada secara adil bukan pelajaran tentang bagaimana akuntansi itu ada. Hal ini dapat diartikan bahwa yang dimaksud akuntansi syariah sebagai entitas ajaran dan pandangan Islam mempunyai arah tujuan kemashlahatan umat Islam dan manusia.
Beranjak dari konsep pemikiran tersebut maka asumsi dasar yang dipakai dalam akuntansi syariah harus kapabel terhadap lingkungan secara umum dan kelangsungan lembaga bisnis yang memakai akuntansi syariah ke depan. Jika akuntansi konvensional menggunakan accrual basis dan going concern sebagai asumsi dasar, maka asumsi dasar yang dipakai dalam standar pedoman akuntansi yang diterbitkan AAO-IFI memiliki empat asumsi dasar yaitu the accounting unit concept, the going concern concept, the periodicity going concept, dan the stability of the purchasing power of the monetary unit.
Di Indonesia, PSAK syariah yang dikeluarkan oleh IAI yang merujuk pada fatwa DSN No: 14/ DSN-MUI/ IX/ 2000 masih menggunakan konsep accrual basis dan going concern. Pemakaian accrual basis sebagai asumsi dasar, disandarkan atas pada faktor dominan bank syariah yang mempunyai produk financing dengan prinsip tijarah (murabahah, salam, dan ishtisna paralel), karena produk tersebut pada intinya menyebabkan bank syariah mempunyai piutang. Merujuk kembali kepada fatwa DSN No: 14/ DSN-MUI/ IX/ 2000 tentang sistem distribusi hasil usaha dalam lembaga keuangan syariah. Menimbang bahwa (1) accrual basis yakni prinsip akuntansi yang membolehkan pengakuan biaya dan pendapatan didistribusikan pada bebrapa periode. (2) cash basis yakni prinsip akuntansi yang mengharuskan pengakuan biaya dan pendapatan saat terjadinya. Pertimbangan tersebut dilengkapi dengan pertimbangan dari Dewan Standar Akuntansi Keuangan IAI yang memutuskan (1) pada prinsipnya, lembaga keuanagn syariah boleh menggunakan sistem accrual basis maupun cash basis dalam administrasi keuangan, dan (2) dilihat dari segi kemashlahatan (al-ashlah) dalam pencatatan sebaiknya digunakan sistem accrual basis, tapi dalam distribusi hasil usaha hendaknya ditentukan atas dasar penerimaan yang benar-benar terjadi (cash basis). Semua dengan catatan bahwa penerapan sistem harus disepakati dalam akad (Dwi Suwiknyo: 2010)
Di samping itu, PSAK No. 59 yang diterbitkan IAI adalah sebuah  hubungan komplementer terhadap Pernyataan Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia (PAPSI) Bank Indonesia. Perkembangan selanjutnya di tahun 2007, Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) IAI kembali mengeluarkan enam PSAK syariah yang tidak hanya ditujukan kepada industri perbankan syariah, akan tetapi keenam PSAK tersebut sifatnya lebih umum agar bisa digunakan oleh semua lembaga keuangan syariah di Indonesia. PSAK syariah tersebut mulai berlaku per 1 Januari 2008 dan disertai dengan Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Syariah  (KDPPLKS). Keenam PSAK syariah yang telah disahkan ialah (1) PSAK 101 tentang penyajian laporan keuangan syariah, (2) PSAK 102 tentang akuntansi murabahah, (3) PSAK 103 tentang akuntansi salam, PSAK 104 tentang akuntansi istishna’, PSAK 105  akuntansi mudharabah, dan PSAK 106 tentang Akuntansi Musyarakah. Dan kemudian di tahun 2009, IAI menerbitkan PSAK No. 107 tentang Akuntansi Ijarah.
Seperti pernyatan yang telah diungkapkan di atas bahwa konsep akuntansi syariah yang dipakai IAI adalah produk yang mengacu kepada standar AAO-IFI-IFI, banyak pihak (aliran idealis) menilai bahwa PSAK terbitan IAI adalah produk turunan dari akuntansi konvensional yang sangat mengedepankan egoisme lewat pedoman teori entitas (entioty teory) yang diimplementasikan dalam konsep accrual basis dan going concern.
  Dampak dari implementasi konsep accrual basis dan going concern yang diterapkan oleh  IAI ialah konsekuensi teknologis dengan digunakannya bentuk laporan keuangan seperti neraca, laporan laba rugi dan laporan arus kas dengan modifikasi pragmatis. Hasilnya ialah maksimalisasi laba oleh perusahaan dan pengakuan biaya private tanpa memperdulikan biaya-biaya lingkungan. Sedangkan aliran idealis, memilih melakukan perubahan-perubahan konsep dasar teoritis berbasis shari’ate ET terhadap akuntansi syariah. Konsekuensi teknologisnya adalah penolakan terhadap bentuk laporan keuangan yang ada; sehingga diperlukan perumusan laporan keuangan yang sesuai dengan konsep dasar teoritisnya.
Bentuk teknologis yang dimaksud oleh aliran idealis ialah perumusan ulang konsep Value Added (VA) dan Value Added Statement (VAS) sebagai tuunan dari value added itu sendiri. VA diterjemahkan oleh Triyuwono sebagai nilai tambah yang berubah maknanya dari konsep VA yang konvensional. Substansi laba adalah nilai lebih (nilai tambah) yang berangkat dari dua aspek mendasar, yaitu aspek keadilan dan hakikat manusia.
Terjemahan konsep VA agar bersifat teknologis untuk membangun laporan keuangan syari’ah disebut Mulawarman sebagai shari’ate value added (SVA). SVA dijadikan source untuk melakukan rekonstruksi sinergis VAS versi Baydoun dan Willett dan Expanded Value Added Statement (EVAS) versi Mook et al., menjadi Shari’ate Value Added Statement (SVAS). SVA adalah pertambahan nilai spiritual (zakka) yang terjadi secara material (zaka) dan telah disucikan secara spiritual (tazkiyah). SVAS adalah salah satu laporan keuangan sebagai bentuk konkrit SVA yang menjadikan zakat bukan sebagai kewajiban distributif saja (bagian dari distribusi VA) tetapi menjadi poros VAS. Zakat untuk menyucikan bagian atas SVAS (pembentukan sources SVA) dan bagian bawah SVAS (distribusi SVA).
SVAS lanjut Mulawarman terdiri dari dua bentuk laporan, yaitu Laporan Kuantitatif dan Kualitatif yang saling terikat satu sama lain. Laporan Kuantitatif mencatat aktivitas perusahaan yang bersifat finansial, sosial dan lingkungan yang bersifat materi (akun kreativitas) sekaligus non materi (akun ketundukan). Laporan Kualitatif berupa catatan berkaitan dengan tiga hal. Pertama, pencatatan laporan pembentukan (source) VA yang tidak dapat dimasukkan dalam bentuk laporan kuantitatif. Kedua, penentuan Nisab Zakat yang merupakan batas dari VA yang wajib dikenakan zakat dan distribusi zakat pada yang berhak. Ketiga, pencatatan laporan distribusi (distribution) VA yang tidak dapat dimasukkan dalam bentuk laporan kuantitatif.
Namun setidaknya, seperti apa yang diharpkan pula oleh aliran idealis dalam PSAK yang telah diterbitkan oleh IAI tidak mengakui adanya penentuan predetermined fixed rate (riba) on capital karena dianggap pendapatan pemberi pinjaman tanpa membagi resiko dengan pihak peminjam adalah tidak sesuai dengan syariah Islam. Dan PSAK tersebut juga mampu mengakomodir prinsip profit and loss sharing yang diterapkan oleh lembaga keuangan islam sebagai dasar operasional bisnisnya dan mencantumkan beberapa elemen-elemen entitas syariah dalam bentuk laporan sumber dana untuk zakat dan penggunaannya; analisis laporan keuangan mengenai earnings atau expenditures yang dilarang berdasarkan syari’ah; laporan responsibilitas sosial bank syari’ah; serta laporan pengembangan sumber daya manusia untuk bank syari’ah.