Mikro Islam 2

 


Teori Konsumsi

Dalam perspektif ekonomi mikro Islam, konsumsi dipahami sebagai aktivitas memenuhi kebutuhan hidup dengan memperhatikan prinsip syariah. Barang dan jasa yang dikonsumsi harus halal dan thayyib, serta tidak berlebihan sebagaimana peringatan Al-Qur’an (QS. al-A‘rāf [7]:31).

 يٰبَنِيْٓ اٰدَمَ خُذُوْا زِيْنَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَّكُلُوْا وَاشْرَبُوْا وَلَا تُسْرِفُوْاۚ اِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِيْنَ ۝٣١

Artinya: “Wahai anak cucu Adam, pakailah pakaianmu yang indah pada setiap (memasuki) masjid dan makan serta minumlah, tetapi janganlah berlebihan. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang berlebihan”

Konsumsi juga harus dibedakan antara kebutuhan pokok dan keinginan tambahan, sehingga lebih terarah pada maslahat.

Menurut Al-Ghazali membagi kebutuhan menjadi daruriyyat, hajiyyat, dan tahsiniyyat, sementara Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa konsumsi seharusnya mendatangkan manfaat dan tidak didorong oleh hawa nafsu. Pada konteks modern, Umer Chapra menambahkan bahwa konsumsi umat Islam juga memuat dimensi sosial, di mana zakat, infak, dan sedekah menjadi sarana penting untuk menjaga keseimbangan distribusi ekonomi.

Keynes berpendapat bahwa konsumsi rumah tangga dipengaruhi oleh pendapatan melalui konsep Marginal Propensity to Consume (MPC). Artinya, semakin tinggi pendapatan, semakin besar pula konsumsi, dan sebaliknya. Pandangan ini menekankan aspek material, sedangkan dalam Islam, perilaku konsumsi tidak hanya diukur dari pendapatan, tetapi juga dikaitkan dengan halal-haram, maslahat, niat baik, serta kepedulian sosial yang menjadikan konsumsi bernilai ibadah.

Pendapatan Islam

Teori pendapatan dalam islam menyatakan bahwa cara memperoleh dan menggunakan pendapatan harus sesuai dengan prinsip syariah, serta berfokus menjaga keseimbangan antara kepentingan pribadi dan sosial.

Menurut Monzer Khaf : pendapatan dalam islam harus berasal dari sumber yang thayib (baik) dan bebas dari unsur riba. Sebagian dari pendapatan tersebut wajib di keluarkan dalam bentuk zakat dan infak untuk mengurangi kesenjangan ekonomi serta mewujudkan kesejahteraan sosial.

Teori pendapatan dalam Islam dapat ditulis dengan rumus Y = FS + S. Di sini, FS (final Spending) adalah pengeluaran akhir yang dilakukan di jalan Allah (misalnya konsumsi dan infak). Hal ini sejalan dengan hadits yang menyatakan, “Apa yang kamu miliki adalah apa yang telah kamu makan dan apa yang telah kamu infakkan.”

Sehingga persamaan yang diubah : Y = (C + Infak) + S 

Ket: Y : pendapatan    C: Consume      FS : ( C + infak)   S : Saving

Hubungan pendapatan dan konsumsi

Lender: Konsumsi < Pendapatan (Surplus)

Borrower: Konsumsi > Pendapatan (Defisit)

Polonius point: Konsumsi = Pendapatan

Permintaan Islam

Konsep permintaan dalam Islam menekankan bahwa tidak semua barang dapat dikonsumsi atau digunakan, kerena harus di bedakan antara yang halal dan yang haram. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Al Maidah ayat 87 – 88.

Menurut Ibnu Taimiyah dalam Kitab Majmu’ Fatawa, terdapat beberapa faktor yang memengaruhi permintaan suatu barang, yaitu:

1. Keinginan atau selera masyarakat

2. Jumlah orang yang bereminat (Tullab) terhadap suatu barang

3. Kualitas atau kemampuan pembeli (Al Muawid).

Peningkatan permintaan terhadap kebutuhan pokok di kalangan masyarakat miskin di pengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain:

• Kewajiban zakat

• Anjuran untuk berinfak dan bersedekah

• Tanggung jawab negara dalam menyediakan kebutuhan dasar rakyatnnya

Penawaran dan Produksi Islam

• Hanya barang barang halal dan thayib yang diproduksi

• Produksi diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat

• Keputusan ekonomi tidak hanya mempertimbangkan cost benefit di dunia saja , tapi juga di akhirat

• Perlindungan terhadap manusia, sumber daya alam, dan lingkungan dalam setiap proses produksi.