Oleh: Saeful Amri (Redaktur pelaksana)
Perbankan
sebagai salah satu entitas perbankan
nasional semakin menunjukan geliatnya. Dimulai dengan berdirinya Bank Muamalat
Indonesia (BMI) pada Juli 1992, kini semakin banyak bank–bank umum membuka Unit
Usaha Syariah (UUS) yang pada perkembangan selajutnya berubah menjadi Bank Umum
Syariah (BUS). Bahkan “budaya” keuangan syariah telah merambah sektor mikro
(UMKM). Hal ini seolah menjadi bukti bahwa perbankan syariah telah diterima
dengan baik oleh masyarakat.
Walaupun pertumbuhan perbankan syariah
terus menunujkan tren positif, tetapi hal ini belum
dibarengi dengan bertambahnya market
share perbankan syariah dalam industri perbankan nasional. Pada kuartal II 2012, pangsa pasar perbankan
syariah dari sisi aset tercatat hanya sebesar 3,8 % , angka itu turun dari
pangsa pasar tahun 2011 yang sebesar 3,98%
Pengamat keuangan syariah Syakir Sula membandingkan
kodisi Indonesia dengan kondisi di Malaysia. Jika dilihat, market share
perbankan syariah di Malaysia telah mencapai 20%. Sedangkan di Indonesia tiga
tahun terakhir, pangsa pasar perbankan syariah hanya naik tipis, yaitu sebesar
2%, 2,5% dan saat ini sekitar 4%. Syakir Sula melanjutkan, terdapat 5 pilar yang harus di
benahi agar market share industri keungan syariah nasional bisa lebih besar.
Kelima pilar tersebut adalah SDM,
regulasi, industri, supervisi, dan teknologi.
Hal yang sebenarnya tak kalah penting dalam usaha
pembenahan dan pengembangan industri keuangan syariah, khususnya perbankan,
adalah pendidikan. Terutama pendidikan anak. Pendidikan anak adalah perkara yang sangat penting dalam Islam. Di dalam
Al-Qur’an kita dapati bagaimana Allah SWT menceritakan petuah-petuah Luqman AS
yang merupakan bentuk pendidikan bagi anak-anaknya.
Begitu
pula dalam hadits-hadits Rasulullah SAW kita temui banyak
juga bentuk-bentuk pendidikan terhadap anak,
baik dari perintah maupun perbuatan beliau mendidik anak
secara langsung.
Terkait dengan perbankan syariah, seharusnya perbankan
dikenalkan sejak dini. Hal ini dimaksudkan agar anak-anak tersebut tidak merasa asing dengan
perbankan syariah. Terutama dalam masalah produk dan akad dalam perbankan
syariah. Karena orang dewasa yang baru mengenal perbankan syariah, akan merasa
kesulitan dan kebingungan ketika mendengar nama produk atau nama akad yang ada
dalam perbankan syariah.
Sebagai bentuk ikhtiar kita dalam membumikan Ekonomi
Islam, pengenalan perbankan syariah kepada anak-anak merupakan suatu cara dalam
membumikan Ekonomi Islam. Kita harus mengajarkan kepada anak-anak bahwa bank
yang “benar” adalah Bank Syariah. Pada saat ini, anak-anak sudah tidak asing
lagi dengan istilah menabung di Bank. Hal inilah celah dan peluang yang sangat
terbuka bagi kita dalam usaha “mengakrabkan” bank syariah di telinga dan
dipikiran anak-anak. Sehingga anak akan terdoktrin bahwa jika ingin menabung, ya harus di Bank Syariah.
Pengajaran kepada anak-anak bahwa bank yang benar adalah
bank syariah, mungkin akan terkesan sebagai ajaran
(penilaian) yang sangat subjektif dan normatif. Tetapi
hal ini dilakukan semata-mata agar paradigma syariah tertanam dalam benak
anak-anak. Sehingga di masa
mendatang,
kelak kita akan mempunyai “kader” perbankan syariah yang militan.
Dan ketika kader perbankan syariah yang militan sukses
tercetak, bisa dapat dipastikan gaya hidup (lifestyle) mereka akan
perbankan syariah sentris. Apalagi produk-produk perbankan syariah sudah sangat
kompleks, mencakup berbagai kebutuhan transaksi perbankan. Hal ini akan menimbulkan pola
hubungan simbiosis mutualisme. Dimana perbankan membuahkan orang-orang yang loyal terhadapnya. Di satu sisi, nasabah
perbankan syariah membutuhkan pelayanan perbankan syariah yang lengkap, untuk
memenuhi segala kebutuhan transaksi perbankannya. Dan dengan banyaknya kader
perbankan syariah, tentu akan berdampak pula pada semakin meningkatnya market share
perbankan syariah dan industri perbankan nasional.