Sebagai lembaga
intermediasi keuangan (financial intermediatory institution) dalam dunia
ekonomi modern, fungsi dan peran perbankan sangat penting dalam perekonomian
masyarakat. Bank menjadi media lalu lintas jasa keuangan (transaction permutation)
dalam aktifitas ekonomi masyarakat, bank dapat mengeluarkan pembiayaan kepada
pihak yang membutuhkan modal (lending) dan menjadi tempat menyimpan uang
bagi mereka yang kelebihan dana (funding). Di samping itu, bank dapat melakukan
aktivitas dan transaksi di luar konteks tersebut, seperti penagihan hutang
(anjak piutang), jual beli sewa (leasing), hire purchase, mark-up dan kegiatan lain
kecuali usaha asuransi, dan dana pensiunan.
Dalam mekanisme
aktivitas perbankan konvensional, bank menerapkan mekanisme jasa pengembalian
tetap (fixed return) dalam bentuk bunga (interest/ usury), di
mana dalam pemberian kredit kepada pihak kedua (debitor) oleh pihak bank
disyaratkan adanya balas jasa berdasarkan jumlah pinjaman dan disandarkan atas
waktu atau tempo perjanjian hutang-piutang tersebut. Hal ini menimbulkan
interpretasi hukum oleh kalangan ulama’ Muslim, karena konsep dan praktek
tersebut dianggap riba dan diharamkan oleh syariat agama Islam.
Larangan Riba
Riba dalam agama Islam
sangat dilarang, dalam beberapa ayat menyebutkan secara jelas akan hukum riba,
diantaranya Al-Baqarah ayat 275 s/d 280, Ali Imron 130, An-Nisa’ ayat 161, surat Ar-Ruum 39. Larangan
riba tidak hanya monopoli bagi agama Islam, namun juga agama samawi lainnya,
setidaknya itulah yang ditulis dalam Taurat dan Injil. Dalam Perjanjian Lama,
larangan riba terdapat dalam Leviticus 25:37, Deutronomy 23:19, Exodus 25:25;
dan dalam Perjanjian Baru, dalam Luke 6:35. Di belahan dunia eropa sendiri,
ketika kekuasaan gereja ortodoks masih dominan, riba pernah dilarang dalam
Hukum Canon. Namun, seiring melemahnya kekuasan gereja, mereka mulai
berkompromi dengan riba. Di Inggris larangan riba dicabut pada pertengahan Abad
ke 16, tepatnya pada tahun 1545 oleh Raja Henry VIII. Pada Zaman inilah istilah
Usury (riba) diganti dengan interest (bunga).
Riba sendiri berarti
zada atau tambahan, Pertumbuhan (growth), naik (rise), membengkan (sweel),
bertambah (increase), dan tambahan (addition). Secara terminologi, riba
diartikan sebagai proses transaksi (baik tukar menukar atau proses hutang
piutang) yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih, di mana dalam transaksi
tersebut diharuskan atau dipersyaratkan adanya margin, fee, atau return oleh
salah satu pihak. Secara garis besar, riba dibagi menjadi dua jenis yaitu Riba
Nasi’ah dan Riba Al-Fadhl. Riba Nasi’ah terjadi dalam proses hutang-piutang
yang di diwajibkan adanya return (interest/ usury) berdasarkan perhitungan
berdasarkan pokok pinjaman yang disandarkan atas waktu sebagai syarat kepada
pihak debitor. Sedangkan Riba Al-Fadhl terjadi ketika adanya tukar-menukar
barang sejenis dengan kuantitas yang berbeda, sebagian ulama juga
mempersyaratkan kualitas yang sama, jadi ketika terjadi penukaran dua barang
sejenis dengan beda kuantitas namun beda kualitas tetap diperbolehkan.
Riba dilarang dalam
agama Islam karena tidak sesuai dengan prinsip keadilan dan keseimbangan. Dimana,
terdapat pihak yang menanggung beban merasa berat akibat interest yang
diberlakukan, sedangkan di pihak lain mengalami pertambahan keuntungan yang
sangat signifikan. Pada dasarnya, dalam praktek riba tidak ada prinsip
keseimbangan dan tolong menolong .
Berbagai pemikiran mulai
muncul untuk menyikapi hal tersebut. Diantaranya ialah inisiatif untuk
membentuk sebuah bank dengan sistem perbankan yang bebas bunga atau riba (free
interest). Pemikiran ini mulai muncul pada paruh pertama Abad 20an,
diantaranya Anwar Qureshi (1946), Naiem Siddiqi (1946), dan Mahmud Ahmad
(1952), Mawdudi pada 1950 (1961), dan tulisan-tulisan Muhammad Hamidullah pada tahun 1994, 1955, 1957, dan 1962. buah
pemikiran mereka tentang Bank Islam yang berdasarkan prinsip bagi hasil dan
menaggung kerugian bersama (Profit and Loss Sharing Principle). Pada
dasarnya, dalam kegiatan pendanaan oleh bank terdapat keseimbangan antara
pemodal dengan penerima modal dan bebas dari riba.
Pendirian institusi
keuangan dengan prinsip free interest dilakukan pada tahun 1963 di desa
Mit-Ghamr, namun akhirnya ditutup karena berbagi alasan setelah sebelumnya
tumbuh dengan mengesankan. Selanjutnya percobaan tersebut melahirkan Nasser
Sosial Bank pada tahun 1972 yang lebih bertujuan sosial daripada komersial.
Kemudian Bank Swasta bebas bunga didirikan oleh sekelompok pengusaha muslim
dengan nama Dubai Islamic Bank pada tahun 1975. Dan pada tahun 1977 berdiri
bank sebas bunga dengan nama Faisal Islamic bank di Mesir dan Sudan. Pada tingkat internasional
pada 20 Oktober 1975 telah berdiri Islamic Development Bank (IDB) yang
didirikan oleh 22 negara anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI).
Pendirian Bank Syariah
di indonesia sendiri cenderung tertinggal dari Negara-negara muslim lain,
karena di Malaysia, Pakistan, dan Iran sudah mendirikan institusi bank syariah
sejak 1970an. Bahkan dua Negara yang telah disebutkan terakhir telah mengganti
(mengkonversi) seluruh sistem perbankan mereka menjadi syariah. Di perbankan
barat pun demikian, kini banyak perbankan konvensional barat yang membuka
Islamic Windows, seperti Jardine Fleming, Citi Bank, HSBC, ANZ Bank dan
lain-lain. Tidak hanya itu, tercatat para pengguna jasa bank syariah merupakan
korporasi besar di bidangnya masing-masing, seperti General Motor, KFC, Xerox,
IBM, General Electric, dan Chryler. Pendirian bank yang beroperasi dengan
prinsip syariah di Indonesia di mulai pada tahun 1992 oleh prakarsa Majelis
Ulama’ Indonesia, dengan berkerjasama dengan pemerintah mendirikan PT. Bank
Muamalat Indonesia
lahir pada tahun tersebut. Kondisi ini diperkuat oleh Undang-undang No. 22
tahun 1992 tentang perbankan, namun dalam UU tersebut belum disebutkan secara gamblang
tentang mekanisme perbankan syariah dengan prinsip bagi hasilnya. Kemudian
regulasi baru diterbitkan oleh pemerintah, melalu Undang-undang No. 10 tahun
1998. Undang-undang tersebut telah mengatur dengan jelas bagaimana mekanisme
perbankan syariah di Indonesia.
Langkah revolusioner tersebut diikuti oleh beberapa bank-bank lain yang
kemudian berdiri dan adapula bank konvensional yang mendirikan Islamic Windows
yang operasionalnya terlepas dari bank induk.
Perbankan syariah adalah
perbankan yang beroperasi berdasarkan syriat agama Islam (Al-Qur’an dan Hadits).
Perbankan syariah tidak mengenal pembayaran dan penerimaan Riba (fixed
interest) dalam kegiatan usahanya. Perbankan syariah selalu menggunakan
prinsip bagi hasil yang berpegang teguh pada prisip transaksi yang beretika dengan
menjunjung teguh keadilan, keseimbangan, pemerataan dan kejujuran.
Karakteristik perbankan
syariah memberikan alternatif baru dalam perekonomian masyarakat baik di sektor
makro maupun mikro, perbankan syariah yang
beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil yang memberikan alternatif sistem
perbankan yang saling menguntungkan bagi masyarakat dan perbankan, terdapat
aspek keadilan dalam bertransaksi antar pihak, investasi yang beretika,
mengedepankan nilai-nilai kebersamaan dan persaudaraan dalam berproduksi, dan
menghindari kegiatan spekulatif dalam bertransaksi keuangan.
Pembentukan bank syariah semula memang banyak diragukan,
sebab banyak kalangan yang beranggapan bahwa sistem bank bebas bunga adalah
suatu hal yang tak mungkin dan tidak lazim.
Sebagai lembaga intermediasi keuangan syariah, bank syariah
memberlakukan kegiataan usaha yang berlandaskan atas akad-akad transaksi yang
didasarkan fiqih muamalah dengan prinsip bagi hasil dan kerugian (Profit and Loss sharing), diantaranya ialah akad mudharabah (commenda partnership), musyarakah
(Joint Venture), ba’i murabahah (mark-up), wadi’ah (safekeeping)
dan qardhul hasan (intersest-free loan).
Pembiayaan Mudharabah
Mudharabah merupakan
akad kerjasama usaha anatara dua pihak; pihak pertama (pemilik dana)
menyediakan seluruh dana, sedangkan pihak kedua (pengelola dana) bertindak
sebagai pengelola. Keuntungan usaha ini dibagi dengan nisbah bagi hasil,
proporsi bagi hasil tersebut seuai kesepakatan, apabila terjadi kerugian maka
kedua belah pihak menanggung bersama kerugian tersebut jika pengelola dana tidak
melakukan kelalaian. Kerugian finasial hanya ditanggung oleh pemilik dana,
sedangkan pengelola dana rugi atas usaha dan waktu. Secara operasional
Mudharabah dapat dibagi menjadi dua.
Pertama, Mudharabah
Muthlaqah adalah jenis mudharabah di mana pemilik dana memberikan kebebasan
kepada pengelola dana dalam pengelolaan investasinya. Kedua, Mudharabah
muqayyadah adalah jenis mudharabah di mana pemilik dana memberikan batasan
kepada pengelola dana, antara lain mengenai tempat, cara, dan atau objek
investasi. Dalam melakukan akad ini, bank syariah bertindak sebagai pemilik
dana dan pengelola dana. Bank syariah menjadi pengelola dana ketika nasabah
menyimpan uang (funding) di bank syariah dan menjadi pemilik dana ketika
memberikan pembiayaan (lending) kepada pihak ke tiga.
Pembiayaan Musyarakah
Musyarakah (Joint Venture) adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha
tertentu. Dalam musyarakah, masing-masing pihak memberikan kontribusi dana
dengan ketentuan baha keuntungan dibagi berdasrkan kesepakatan, sedangkan
risiko berdasarkan porsi kontribuasi dana. Secara operasional, musyarakah ada
dua jenis. Pertama, musyarakah permanent, yaitu musyarakah dengan ketentuan
bagian dana setiap mitra ditentukan sesuai akad dan jumlahnya tetap hingga
akhir masa akad. Kedua, musyarakah menurun (musyarakah mutanaqisha), yaitu
musyarakah dengan ketentuan bagian dana entitas akan dialihkan secara bertahap
kepada mitra, sehingga bagian dana entitas akan menurun dan pada akhir masa
akad, mitra akan menjadi pemilik penuh usaha tersebut. Kedua belah pihak bia
menjadi mitra aktif atau pun pasif. Mitra aktif adalah mitra yang mengelola
usaha musyarakah, baik pengelola sendiri atau menunjuk pihak lai atas nama
mitra tersebut; sedangkan mitra pasif yaitu mitra yang tidak ikut mengelola
usaha musyarakah.
Pembiayaan Murabahah
Selanjutnya, pembiayaan
murabahah merupakan transaksi yang mendominasi kegiatan perbankan syariah.
Murabahah adalah traksaksi jual beli (ba’i) oleh dua pihak, dimana penjual
menjual barang dengan harga jual yang sebesar harga pokok ditambah keuntungan
yang disepakati dan penjual harus mengungkapkan harga pokok barang tersebut
kepada pembeli. Dalam pelaksanaan pembiayaan murabahah pihak perbankan akan
menggunakan jasa pihak ketiga untuk memenuhi jual beli barang yang dilakukan
dengan pihak kedua. Hal ini dilakukan oleh perbankan karena kemampuan mereka
hanya sebatas sebagai lembaga intermediasi keuangan. Dalam mekanisme pembayaran
pembiayaan murabahah, pihak bank bisa menerapkan sistem pembayaran tunai atau cicilan.
Dengan keunikan dan
karakteristik pembiayaan jual beli yang dilakukan oleh bank syariah. Pembiayaan
jual beli yang dilakukan bisa berkembang sesuai kebutuhan dan kemampuan dan
keterbatasan para nasabah dalam memenuhi kebutuhan mereka. Pembiayaan jual beli
murabahah bisa berkembang menjadi pembiayaan jual beli yang lebih spesifik,
diantaranya ialah pembiayaan ba’i salam, ba’i ishtisna’ dan ba’i bitsaman ajil.
Wadi’ah (safekeeping)
Wadi’ah secara harfiah
ialah titipan. Wadi’ah adalah akad titipan yang dilakukan oleh dua pihak atas
suatu objek tertentu. Titipan tersebut bisa bersifat tetap pada suatu objek dan
tidak bisa dimanfaatkan oleh pemegang titipan (wadi’ah yad amanah), atau objet
titipan bisa bersifat dimanfaatkan (wadia’ah yad dhamanah).
Konsep wadi’ah yad
dhamanah dipakai oleh perbankan syariah dalam menerima simpanan (funding) para
nasabah baik dalam bentuk tabungan, giro maupun deposito. Pihak bank syariah
akan mempergunakan dana simpanan untuk melakukan pembiayaan kepada pihak yang
membutuhkan dana.
Dalam pengembalian dana
simpanan nasabah, pihak bank syariah akan memberikan imbalan kepada nasabah
dengan sistem bagi hasil. Marjin yang diberikan tersebut bersifat indikatif
sesuai dengan keuntungan yang diperoleh bank.
Qardhul hasan (intersest-free loan).
Qardhul hasan adalah pinjaman kebajikan yang diberikan kepada pihak
yang membutuhkan dana, dengan sistem pengembalian tanpa adanya marjin atau
bunga. Qardhul hasan merupakan bentuk kepedulian bank syariah terhadap umat
yang membutuhkan. Tidak ada yang disyaratkan dalam pembayaran pinjaman ini.
Pihak bank tidak menerima dan menolak imbalan yang diberikan atas pinjaman ini.
Pihak bank akan mempertimbang segala aspek sebelum memberikan pinjaman ini,
tentunya kepada pihak yang benar-benar membutuhkan.
Selain langkah kebajikan yang ditempuh dalam memberikan
pinjaman Qardhul hasan, perbankan syariah juga akan sangat peduli terhadap
kesejahteraan masyarakat. Sebagai lembaga yang berasaskan syariah, bank akan
memberikan sebagian harta yang dimiliki untuk dikeluarkan zakatnya. Ini juga
sebuah aksi bank syariah sebagai corporate social responsibility (CSR). Oleh Mamduh, Mahasiswa Perbankan Syariah IAIN Walisongo