وَالنَّاسُ
ثَلاَثَةٌ : رَجُلٌ شَغَلَهُ مَعَاشُهُ عَنْ مَعَادِهِ فَهُوَ مِنَ اْلهَالِكِيْنَ
وَرَجُلٌ شَغَلَهُ مَعَادُهُ عَنْ مَعَاشُهُ فَهُوَ مِنَ الفَائِزِيْنَ وَاْلاَقْـرَبُ
اِلَي اْلاِعْتِدَالِ هُوَ الثَالِثُ الَّذِيْ شَغَلَهُ مَعَاشُهُ لِمَعَادِهِ فَهُوَ
مِنَ الْمُقْتَصِدِيْنَ . وَلَنْ يَنَالَ رُتْبَةَ اْلاِقْتِصَادِ مَنْ لَمْ يُلاَزِمْ
فِيْ طَلَبِ الدُّنْيَا. وَلَنْ يَنَالَ رُتْبَةَ الْاِقْتِصَادِ مَنْ لَمْ يُلاَزِمْ
فِي طَلَبِ المَعِيْشَةِ مَنْهَجَ السَّدَادِ وَلَنْ يَنْتَهِضَ مَنْ طَلَبَ الدُ
نْيَا وَسِيْلَةً اِلَي الاَخِرَةِ وَذَرِيْعَةً مَا لَمْ يَتَأَدَّبْ فِي طَلَبِهَا
بِأَ دَابِ الشَّرِيْعَةِ. (احياء علوم الدين جلد 2 ص 62)
“Manusia terbagi menjadi tiga
golongan : pertrama orang yang disibukan oleh pekerjaannya daripada akhiratnya,
orang ini adalah sebagian dari orang yang rusak. Kedua orang yang disibukan
dengan akhiratnya daripada dunianya, orang ini termasuk sebagian dari orang
yang beruntung. Ketiga yang
paling dekat kearah adil adalah orang yang disibukan dengan pekerjaannya untuk
bekal akhiratnya, orang ini adalah sebagian dari ahli ekonomi sejati. Dan tidak akan mencapai derajat ahli ekonomi
kecuali orang yang bekerja, dan dalam bekerja menggunakan metode yang benar
atau tepat. orang yang mencari nafkah dunia sebagai jalan menuju kehidupan
akhirat tidak akan tegak (terwujud) selama tidak menggunakan etika dalam
bekerja dengan etika yang sesuai dengan syariat.”
Islam
mengajarkan manusia agar senantiasa seimbang dalam urusan dunia dan juga
akhirat. Islam menempatkan kegiatan
ekonomi sebagai mazra’ah (lahan menanam) yang kelak akan menuai hasilnya
di kehidupan akhirat, orang yang kegiatan ekonominya baik tentu akan menuai
hasil baik pula di akhirat, sebaliknya orang yang kegiatan ekonominya buruk tentu akan mendapatkan hasil yang buruk
pula dikehidupan akhirat. Anjuran dan
keutamaan bekerja banyak disebutkan
dalam al-qur’an seperti surat An- Naba: 11 yang artinya “ dan kami jadikan
siang untuk mencari penghidupan” dan
Al-Jumu’ah : 10 yang artinya “apabila telah ditunaikan shalat, maka
bertebaranlah kamu dimuka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah
banyak-banyak supaya kamu beruntung” serta ayat-ayat lain dalam al-qur’an
yang menganjurkan manusia untuk senantiasa bekerja di muka bumi ini.
Dalam peraktiknya, Islam mengatur tindakan
manusia dalam melakukan pekerjaan agar sesuai syariat. dijelaskan dalam kitab
Ihya Ulumiddin karya Imam Al Ghozali bahwa ada tiga golongan manusia dalam menjalankan
pekerjaannya, yaitu pertama orang yang sibuk dengan pekerjaannya
sehingga mengesampingkan akhiratnya. Orang ini termasuk golongan orang yang bangkrut,
karena hanya sampai di tengah jalan, hanya sukses di kegiatan ekonomi namun
tidak punya bekal untuk kehidupan akhirat. Kedua orang sibuk dengan
kepentingan akhirat sehingga mengesampingkan kepentingan dunianya, orang ini
termasuk golongan orang yang beruntung.
Karena orang dari golongan ini mementingkan bekal untuk kehidupan sebenarnya di
akhirat kelak, dan untuk kebutuhan dunia biasanya tercukupi dengan sendirinya
dalam kadar sederhana. Ketiga golongan yang lebih tepat dikatakan
golongan yang adil seimbang antara dunia dan akhirat, yaitu orang yang sibuk
dengan kegiatan ekonomi yang diperuntukan sebagai bekal di kehidupan akhiratnya
kelak. Orang ini termasuk golongan muqtashid. Penulis mengartikan muqtashid
sebagai ahli ekonomi sejati. Muqtashid yang berasal dari suku kata qashada
yang diikutkan wazan ifta’ala menjadi iqtashada yang bermakna
sedang, sederhana dan adil, dikatakan adil karena menempatkan kegiatan ekonomi
dan akhirat secara seimbang sesuai proporsinya dengan menjadikan kegiatan
ekonomi sebagai bakal kehidupan akhirat.
Seseorang tidak akan bisa mencapai
derajat muqtashid kecuali mencari
nafkah untuk memenuhi kegiatan ekonomi,
dan menggunakan metode yang tepat atau relevan dalam mencari nafkah terbesebut.
Kemudian kegiatan ekonomi yang dilakukan bisa menjadi washilah untuk
kehidupan akhirat dan perantara kesuksesan selama menggunakan etika atau adab
yang sesuai dengan syariat Islam. wallahu a’lam bi showab.
Asep Saefurrohman