Sinkretisme:
“Budaya berbingkai Agama”
Oleh
: Asep Saefurrohman (122411066)
Abstrak
Abstrak
Java have very culture jell and high value of
spiritual. This atter is influenced by to the number of religion teaching and
culture which step into Java land;ground. The culture of java begun with
teaching of worship ancestors animisme of dinamisme until entry of Hindu and
Budha and then Islam. the culture cannot
be discharged from Javanese, when each religion teaching which step into Java can’t
direct change previous religion teaching when the mentioned have become culture
in the middle of society. Javanese Sinkretsme don’t only recognized at a period
later Islam teaching have started to step into Java society. Mixing or
absorbtion of teaching one with other teaching become matter which habit and normaly in Java society. Budha mixed Hindu, Hindu mixed
with ancestors even absorbent of Islam teachings going into effect former
especially in the people society of Java. Hassle of Walisongo especially Sunan Kalijaga propagating
religion teaching Ism into artistic nuance which taken a fancy to and can earn
ism by Java society which that moment is gathered into civilian factions.
Keyword : Cultural, sinkretisme, Java, Society & Walisongo
Keyword : Cultural, sinkretisme, Java, Society & Walisongo
- Latar Belakang
Kajian yang membahas tentang
Islam di Jawa hampir semuanya memgolongkan Islam kedalam dua golongan, yaitu
Islam santri dan Islam abangan.[1]
Perbedaan ini dapat terlihat dari tradisi, kepercayaan dan ritual ibadah
yang dilakukan orang jawa. Berdasarkan sistem kepercayaan, yang disebut dengan
Islam Santri adalah sekelompok muslim shaleh yang memeluk agama Islam dengan
sungguh-sungguh, menjalankan perintah agama, dan berusaha membersihkan
akidahnya dari perilaku syirik. Sedangkan Islam abangan adalah sekelompok
muslim yang cara hidupnya masih banyak dikuasai oleh tradisi Jawa pra-Islam,
yaitu suatu tradisi yang menitik beratkan pada pemaduan unsur-unsur Islam,
Budha-Hindu, dan unsur-unsur asli sebelumnya. Sementara itu, berdasarkan
partisipasi ritualnya, Islam Santri lebih beorientasi menjalankan ritual yang
diajarkan Islam secara baku seperti shalat, puasa, ibadah haji, mengaji.
Sementara Islam abangan lebih berorientasi pada ritual-ritual yang tidak
diajarkan secara baku seperti slametan, ngruwat, tirakat, sesajen, dan
sebagainya.
Garis besar yang membedakan
antara Islam santri dan Islam abangan adalah kemampuan dalam memahami
Islam, Islam santri bisa disebut juga sebagai Islam yang secara mendalam
memahami agama sedangkan Islam abangan adalah mereka yang sudah masuk
ajaran Islam tapi masih awam dalam ajaran Islam sehingga masih sering melakukan
praktek ibadah yang ada pada masa
pra-Islam tanpa mengetahui batasan dan aturan yang jelas.
Islam Santri lebih dekat pada
dogma-dogma Islam baku. Dengan kata lain, Islam Abangan atau Agami Jawi
yang disebutkan oleh Koentjaraningrat lebih bersifat sinkretis karena
menyatukan unsur-unsur pra-Hindu, Hindu-Budha dan Islam (heterodoks). Sementara
Islam Santri lebih bersifat puritan karena mereka mengikuti ajaran agama secara
ketat (ortodoks)[2].
Kajian dalam makalah ini akan
mencoba mengupas unsur sinkretis dalam Islam yang menjadi ciri Islam abangan
dengan unsur sinkretis yang disebarluaskan oleh Walisongo dengan memasukan
nilai-nilai Islam kedalam kebudayaan dan praktek keseharian orang Jawa.
Sehingga dapat dibedakan mana yang memang sesat dan khurafat dengan
nilai-nilai Islam yang sudah dituangkan dalam aspek kehidupan dalam masyarakat
Jawa.
B.
Pengertian
Sinkretisme
Secara etimologis, sinkretisme
berasal dari perkataan syin dan kretiozein atau kerannynai,
yang berarti mencampur elemen-elemen yang saling bertentangan. Adapun
pengertiannya adalah suatu gerakan dibidang filsafat dan teologi untuk
menghadirkan sikap kompromi pada hal-hal yang agak berbeda dan bertentangan.
Simuh menambahkan bahwa sinkretisme dalam beragama adalah suatu sikap atau
pandangan yang tidak mempersoalkan benar salahnya suatu agama, yakni suatu
sikap yang tidak mempersoalkan murni atau tidaknya suatu agama. Bagi yang
menganut paham ini semua agama dipandang baik dan benar. Oleh karena itu,
mereka berusaha memadukan unsure-unsur yang baik dari berbagai agama, yang
tentu saja berbeda antara satu dengan lainnya, dan dijadikan sebagai suatu
aliran, sekte, dan bahkan agama.[3]
Sebagai contoh dari sinkretisasi antara dua agama yang berbeda adalah
penggabungan antara agama Islam dan Hindu di India, seperti yang dilakukan oleh
Guru Nanak (1469-1538).
Dikalangan masyarakat Jawa
pernah terjadi penggabungan antara dua agama, yaitu agama Budha dan agama Hindu
(Siwa). Kedua agama tersebut mempunyai persamaan dan sekaligus perbedaan. Namun
oleh masyarakat Jawa pada kurun tertentu kedua agama ini telah diamalkan
sekaligus secara bersama-sama. Hal ini dibuktikan ketika Wishnuwardana wafat,
nisannya di Waleri berbentuk patung Siwa, sedangkan di Jajaghu berbentuk Budha.
Begitu pula candi di Prigen telah digunakan untuk pemujaan para pemeluk agama
Siwa maupun Budha.[4]
Suatu langkah sinkretisme telah dipertunjukkan
antara orang-orang Islam (penganut aliran “Wektu Telu”) dan Hindu di suatu
tempat di pulau Lombok, dengan mendirikan Pura Lingsar. Sebagai Pura, bangunan
ini digunakan untuk tempat ritual pemeluk Hindu. Namun keistimewaannya, tempat
ini juga digunakan sholat orang-orang yang beraliran Wektu Telu. Di dalam Pura
tersebut, di dalamnya terdapat symbol-simbol keIslaman, seperti tangga beranak
17 yang menunjukkan jumlah rakaat shalat, lima buah pancuran yang menunjukkan
rukun Islam yang lima, dan sebagainya.
Para pengamat menyebut hal itu
sebagai sinkretisasi karena merupakan penggabungan dua agama yang berbeda. Tapi
sebagian lain mengatakan bahwa hal itu bukan merupakan sinkretisasi, melainkan
buah dari sikap toleran mendalam yang dilandasi oleh semangat untuk menghormati
dan menghayati, serta mengamalkan semua nilai kebenaran, dari mana pun
sumbernya. Semagat tersebut diadopsi dari Empu Tantular yang mengatakan bhineka
tunggal ika “berbeda-beda tetapi tetap satu” dan tan hana dharma mangrwa
“tidak ada kebenaran ganda”.[5]
C.
Munculnya
Islam Sinkretisme dalam Masyarakat Jawa
Ketika Islam masuk ke Jawa ada
dua hal yang perlu dicatat. Pertama, pada waktu itu hampir secara
keseluruhan dunia Islam dalam keadaan mundur. Dalam bidang politik, antara lain
ditandai dengan jatuhnya Dinasti Abbasiyah oleh serangan Mongol pada 1258
Masehi, dan tersingkirnya Dinasti Al Ahmar di Andalusia (Spanyol) oleh gabungan
tentara Aragon dan Castella pada 1492 Masehi. Dibidang pemikiran, kalau pada
masa-masa sebelumnya telah muncul ulama-ulama besar dibidang hukum, teologi,
filsafat, tasawuf dan sains. pada masa-masa ini pemikiran-pemikiran tersebut
talah mengalami stagnasi. Pada masa ini telah semakin berkembang pendapat bahwa
pintu ijtihad telah tertutup dan kelompok-kelompok tarekat sesat semakin
berkembang dikalangan umat Islam.
Dan kedua, sebelum kedatangan
Islam di Jawa, agama Hindu, Budha, dan kepercayaan asli yang berdasarkan
animisme dan dinamisme telah melekat di kalangan masyarakat Jawa. Oleh karena
itu, dengan datangnya Islam terjadi pergumulan antara Islam di satu pihak,
dengan kepercayaan-kepercayaan yang ada sebelumnya di pihak lain. Akibatnya,
muncul dua kelompok dalam menerima Islam. Pertama, yang menerima Islam
secara total dengan tanpa mengingat pada kepercayaan-kepercayaan lama. Dan yang
kedua, adalah mereka yang menerima Islam, tetapi belum dapat melupakan
ajaran-ajaran lama. Oleh karena itu mereka mencampuradukkan antara kebudayaan
dan ajaran-ajaran Islam dengan kepercayaan-kepercayaan lama. Dalam kehidupan
sehari-hari masyarakat Jawa dapat dijumpai tulisan-tulisan, tradisi, dan
kepercayaan yang tercampur di dalamnya antara aspek-aspek dari ajaran Islam
dengan unsure-unsur kepercayaan lama. Upacara-upacara nelung dino, mitung
dino, matang puluh, nyatus, mendhak dan nyewu, yang merupakan tradisi pra Islam
dalam rangka menghormati kematian seseorang, tidak dihilangkan oleh para
mubaligh, tetapi dibiarkan berlanjut dengan diwarnai dan diisi dengan
unsure-unsur dari agama Islam.
Sikap toleran dan akomodatif
terhadap kepercayaan dan budaya setempat, di satu sisi memang dianggap membawa
dampak negatif, yaitu sinkretisasi atau percampuradukkan antara Islam di satu
sisi dengan kepercayaan-kepercayaan lama dipihak lain, sehingga sulit dibedakan
mana yang benar-benar ajaran Islam dan mana pula yang berasal tradisi. Namun
aspek positifnya, ajaran-ajaran yang disinkretiskan tersebut telah menjadi
jembatan yang memudahkan masyarakat Jawa dalam menerima Islam sebagai agama
mereka yang baru. Dan sebaliknya, ajaran-ajaran tersebut telah memudahkan pihak
Islam pesantren untuk mengenal dan memahami pemikiran dan budaya Jawa, sehingga
memudahkan mereka dalam mengajarkan dan menyiarkan Islam kepada Masyarakat Jawa.
Cerita tentang Walisongo yang sekti mandaguna dan mampu melakukan
hal-hal di luar batas kemampuan manusia telah menarik perhatian bukan saja kaum
pesantren, tetapi juga masyarakat yang kurang taat dalam beragama.
D.
Praktek-praktek
Sinkretisme dalam Masyarakat Jawa
Dalam uraian di atas telah
disebutkan beberpa contoh tentang pelaksanaan sinkretisme antara unsure-unsur dari ajaran-ajaran Islam dengan
agama Budha, Hindu, dan tradisi local Jawa. Dan untuk lebih mengkongkretkan
pengertian dan pemahaman tentang masalah tersebut, berikut ini diuraikan
kembali beberapa contoh dari hala tersebut.
1.
Penggabungan
antara Dua Agama/Aliran atau Lebih
Menggabungkan dua agama atau
lebih dimaksudkan untuk membentuk suatu aliran baru, yang biasanya merupakan
sinkretisasi antara kepercayaan local (Jawa) dengan ajaran-ajaran agama Islam dan
agama-agama lainnya. Dari masing-masing agama tersebut diambil yang sesuai
dengan alur pikiran mereka. Dan, apabila aliran-aliran kepercayaan yang
berkembang di Indonesia, dan lebih khusus lagi di Jawa diteliti, akan
didapatkan bahwa aliran-aliran ini merupakan hasil sinkretisasi antara
kepercayaan local dengan agama-agama yang telah ada.
2.
Bidang
Ritual
1.
Upacara
Midodareni
Upacara midodareni misalnya, adalah suatu ritual
yang dilangsungkan pada malam hari menjelang hari perkawinan. Ritual ini
dimaksudkan sebagai usaha keluarga pengantin untuk mendekati para roh halus
supaya melindungi kedua calon pengantin dari mara bahaya yang mengganggu
jalannya perkawinan dan hari-hari sesudahnya. Untuk itu calon pengantin tidak
boleh tidur sampai tengah malam pada pelaksanaan ritual tersebut. Di kalangan
muslim yang taat dalam beragama, ritual ini diisi dengan pembacaan al-Barzanji,
kalimah thoyyibah, dan tahlil. Tapi dikalangan masyarakat yang kurang taat
dalam beragama, acara ini digunakan sebagai alas an untuk mengadakan begadang
sampai pagi.
2.
Upacara
Brokohan dan Sepasaran
Dalam Islam, ketika seorang bayi lahir, ayah dan
ibunya disyariatkan untuk melaksanakan aqiqah, dengan menyembelih seekor
kambing kalau yang dilahirkan perempuan, dan dua ekor kambing kalau yang
dilahirkan laki-laki. Namun kenyataan menunjukkan bahwa sebagian masyarakat
muslim Jawa tidak melaksanakan perintah ini. Sebagai gantinya mereka mengadakan
upacara brokohan (diadakan setelah bayi lahir ke duania dengan selamat) dan sepasaran (ketika bayi
berusia lima hari). Dalam kedua slametan ini mereka tidak menyembelih
kambing, tetapi menggantinya dengan yang lain.[6]
3.
Menggabungkan
Agama dengan Budaya Lokal
Yang dimaksud dengan menggabungkan Islam dengan
budaya local dalam konteks ini adalah melaksanakan syariat Islam dengan kemasan
budaya Jawa. Berbakti kepada orang tua adalah wajib. Dalam melaksanakan syariat
ini masyarakat Jawa biasanya menggunakan media sungkem. Begitu pula dalam
rangaka memperingati hari Idul Fitri, masyarakat menyiapkan hidangan kupat dan
lontong. Secara keratabasa, “kupat” dapat diartikan ngaku lepat Artinya
mengaku atas kesalahan. Hal ini merupakan simbolisasi dari perintah untuk
meminta maaf kepada orang lain pada hari raya yang penuh kebahagiaan ini.
Adapun lontong, secara keratabasa dapat diartikan sebagai olone
kothong yang Artinya kesalahannya kosong/habis. Hal ini merupakan
simbolisasi dari doa agar semua dosanya termaafkan sehingga dirinya bersih dan
suci dari dosa yang pernah menghinggapi.
- Serangan terhadap sinkretisme Islam di Jawa
Umat muslim di Jawa pada zaman
setelah Walisongo hampir tidak ada pertentangan dalam pendapat dan juga
madzhab. Madzhab yang diikuti dalam permasalahan fiqih adalah madzhab Imam
Muhammad bin Idris As-Syafi’i, dalam permasalahan tauhid mengikuti madzhab Imam
Abu Hasan Al-As’ari dan dalam tasawwuf mengikuti Imam Al Ghozali dan Imam Abu Hasan
As-Syadzili. Karena paham inilah yang
diajarkan dan ditanamkan oleh Walisongo sehingga seolah sudah melekat dalam
praktek ibadah orang-orang Jawa pada masa itu.
Pada tahun 1330 H. Mulai
bermunculan golongan-golongan orang Islam di Jawa, salah satunya adalah
golongan yang masih berpegang teguh pada madzhab muayyan, berpegang pada
kutub al mu’tabaroh, cinta pada kepada ahli bait
dan para wali dengan mengambil barokah darinya, ziarah kubur, talqin mayit,
shodaqoh untuk mayit dan lain sebagainya. Kemudian golongan yang kedua adalah
golongan pembaharu yang mengikuti pendapatnya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridho
bahkan mengambil pendapat dari Muhammad bin Abdul Wahab An-Najdi pendiri
gerakan Salafi Wahabi, mengikuti pendapatnya Imam Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnu
Qoyyim dan Ibnu Abdul Hadi. Golongan ini kemudian mengharamkan berziarah kepada
makam Rasulullah SAW. dan lain sebagainya.[7]
Kemunculan gerakan pemurnian
agama yang menyerukan agar semua persoalan harus dikembalikan kepada al-qur’an
dan as-sunnah tanpa melalui ta’wil terhadap keduanya memunculkan banyak
persoalan yang pelik dalam praktek ibadah yang menjadi tradisi orang jawa.
Banyak tradisi Islam Jawa yang dikatakan mereka sebagai praktek bid’ah yang
harus dibasmi dan dihilangkan dalam praktek-praktek ibadah orang Islam. salah
satu contohnya adalah ziarah para wali,
peringatan hari ke-tujuh dan empat puluh kematian, upacara dalam akad nikah dan
lain sebagainya.
Nuansa kebudayaan di Jawa
sangat sangat kental dalam mengatur tata kehidupan masyarakatnya, sehingga yang
dilakukan oleh para penyebar Islam Walisongo menggunakan metode kulturisasi
ajaran agama kedalam praktek kebudayaan masyarakat. Nilai-nilai ajaran Islam
dimasukan kedalam budaya Jawa, sebagai contoh seni wayang. Sunan Kalijogo menggunakan metode wayang
sebagai media penyebaran ajaran Islam kepada masyarakat Jawa saat itu yang
masih tergolong awam. Istilah ajaran Islam dikemas dengan menggunkan istilah
Jawa agar masyarakat mudah memahami seperti “kalimosodo” yang terkenal sebagai jimat yang diambil dari
kata kalimat syahadat.
Praktek praktek kebudayaan asli
orang Jawa inilah yang menjadi sasaran serangan dari gerakan pembaharu atau
tepatnya gerakan pemurnian agama. Semua adat istiadat dalam melakukan ibadah
yang berbeda dengan apa yang dilakukan oleh rasulullah maka mereka anggap itu
adalah bid’ah yang sesat dan menyesatkan.
Gerakan transnasional yang
banyak bermunculan di Indonesia yang banyak dibawa dari Timur Tengah memiliki
misi tersendiri yaitu goalnya adalah mewujudkan khilafah islamiyah dan
ciri dari gerakan merekan skripturalis, fundamentalis atau radikal.[8]
Gerakan yang seperti ini yang
akan sangat berbahaya, karena gerakan merekan mengguakan doktrin agama tetapi
berlandaskan politik untuk menguasai, mempengaruhi dan memegang posisi-posisi
penting dalam pemerintahan. Gerakan fundamental sendiri dibagi menjadi dua
yaitu ada gerakan tarbiyah dan gerakan radikal. Gerakan terbiyah berusaha
menguasai dan mewujudkan khilafah islamiyah lewat jalan partai dan masuk
keparlemen, sedangkan gerakan radikal membangun terror dimana-mana untuk
menunjukan kekuasaan.
Daftar
pustaka
1.
‘Asy’ari,
Hasyim. Risalah ahlu sunnah wal jama’ah. Madrasah at-turas Al Isalmi, Tebu Ireng : 1418
H.
2.
Gerkan
Islam transnasional dan pengaruhnya di Indonesia, Direlease
dan disebarkan dalam bentuk powerpoint oleh Badan Intelejen Negara (BIN).
3.
H.
Abdul jamil dkk, Islam dan Kebudayaan Jawa, Gama Media, Yogyakarta,
2000.
4.
Koentjaraningrat,
1984, Kebudayaan Jawa, Balai Pustaka, Jakarta.
5.
Muchtarom
Zaini, 1988, Santri dan Abangan di Jawa, Jilid II, INIS,
Jakarta.
6.
Marbangun
Hardjowiraga, Adat Istiadat Jawa, Patma, Bandung, 1980.
7.
Simuh,
Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita, UI Press, Jakarta,
1998.
8.
Sujatmo,
Reorientasi dan Revitalisasi Pandangan Hidup Jawa, Dahara Prize,
Semarang, 1997.
[1] Muchtarom
Zaini, 1988, Santri dan Abangan di Jawa, Jilid II, INIS,
Jakarta, hlm. 1-7.
[2]
Koentjaraningrat, 1984, Kebudayaan Jawa, Balai Pustaka, Jakarta, hlm.
312
[3]
Simuh, Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita, UI Press,
Jakarta, 1998. Hlm. 12.
[4]
Sujatmo, Reorientasi dan Revitalisasi Pandangan Hidup Jawa, Dahara
Prize, Semarang, 1997, hml. 18.
[5] Ibid,
hlm. 19.
[6]
Marbangun Hardjowiraga, Adat Istiadat Jawa, Patma, Bandung, 1980, hlm. 133-134.
[7]
‘Asy’ari, Hasyim. Risalah ahlu sunnah wal jama’ah. Madrasah at-turas Al Isalmi, Tebu Ireng : 1418
H. Hal. 9
[8] Gerkan
Islam transnasional dan pengaruhnya di Indonesia, Direlease dan
disebarkan dalam bentuk powerpoint oleh Badan Intelejen Negara (BIN).