Semarang-FALAH, 7-9-2015
Forum Studi Hukum Ekonomi Islam (ForSHEI) kembali mengadakan diskusi rutinan
senin sore ala ForSHEI di samping audit kampus 3 UIN Walisongo Semarang pada
pukul 16.00-17.50 WIB.
Diskusi dipandu oleh sdr.
Labib Arfa kader ForSHEI 2013 dan sdr. Vivi kader ForSHEI 2014. Pada awalnya
vivi memberi pengantar mengenai ilmu mawaris. Mawaris merupakan suatu
pemindahan harta dari seseorang kepada yang berhak mendapatkan harta tersebut (ahli
waris), sesuai dengan syarat dan rukun yang telah ditentukan oleh agama. Dalam
pembahasan kala itu kader ForSHEI menemukan tiga syarat warisan yang telah
disepakati oleh para ulama, tiga syarat tersebut adalah:
Meninggalnya seseorang
(pewaris) baik secara haqiqy, hukmy (misalnya dianggap telah meninggal) maupun
secara taqdiri.
2.
Adanya ahli waris yang
hidup secara haqiqy pada waktu pewaris meninggal dunia.
3.
Seluruh ahli waris
diketahui secara pasti baik bagian masing-masing.
Adapun rukun waris harus terpenuhi pada
saat pembagian harta warisan. Rukun waris dalam hukum kewarisan Islam,
diketahui ada tiga macam, yaitu:
1.
Muwaris, yaitu orang yang mewarisi harta peninggalannya atau orang yang mewariskan hartanya. Syaratnya
adalah muwaris benar-benar telah meninggal dunia. Kematian seorang muwaris itu,
menurut ulama dibedakan menjadi 3 macam:
a. Mati
Haqiqy (mati sejati).
Mati
haqiqy (mati sejati) adalah matinya muwaris yang diyakini tanpa membutuhkan
putusan hakim dikarenakan kematian tersebut disaksikan oleh orang banyak dengan
panca indera dan dapat dibuktikan dengan alat bukti yang jelas dan nyata.
b. Mati
Hukmy ( mati menurut putusan hakim atau yuridis).
Mati
Hukmy (mati menurut putusan hakim atau yuridis) adalah suatu kematian yang
dinyatakan atas dasar putusan hakim karena adanya beberapa pertimbangan. Maka
dengan putusan hakim secara yuridis muwaris dinyatakan sudah meninggal meskipun
terdapat kemungkinan muwaris masih hidup. Menurut pendapat Malikiyyah dan
Hambaliyah, apabila lama meninggalkan tempat itu berlangsung selama 4 tahun,
sudah dapat dinyatakan mati. Menurut pendapat ulama mazhab lain, terserah
kepada ijtihad hakim dalam melakukan pertimbangan dari berbagai macam segi
kemungkinannya.
c. Mati
Taqdiry (mati menurut dugaan).
Mati
taqdiry (mati menurut dugaan) adalah sebuah kematian (muwaris) berdasarkan
dugaan keras, misalnya dugaan seorang ibu hamil yang dipukul perutnya atau
dipaksa minum racun. Ketika bayinya lahir dalam keadaan mati, maka dengan
dugaan keras kematian itu diakibatkan oleh pemukulan terhadap ibunya.
2.
Waris (ahli waris), yaitu orang yang
dinyatakan mempunyai hubungan kekerabatan baik hubungan darah (nasab), hubungan
sebab semenda atau perkawinan, atau karena memerdekakan hamba sahaya. Syaratnya
adalah pada saat meninggalnya muwaris, ahli waris diketahui benar-benar dalam
keadaan hidup. Termasuk dalam hal ini adalah bayi yang masih dalam kandungan
(al-haml). Terdapat juga syarat lain yang harus dipenuhi, yaitu: antara muwaris
dan ahli waris tidak ada halangan saling mewarisi.
3.
Maurus atau al-Miras, yaitu
harta peninggalan si mati setelah dikurangi biaya perawatan jenazah, pelunasan
hutang, dan pelaksanaan wasiat.
Dalam diskusi kali ini lumayan terdapat
percakapan alot mengenai makna adil dalam pembagian harta warisan. Setelah
melewati perdebatan yang cukup oanjang maka diperoleh kesepakatan bahwa makna
adil dalam pembagian waris yakni membagi sesuai porsi (kebutuhan) bukan membagi
secara rata. Jika terdapat ahli waris yang masih merasa belum mendapatkan
keadilan maka dicari jalan tengah dengan musyawarah untuk menghasilkan kerelaan
antara ahli waris.
Diskusi berjalan cukup seru dan memacu keluarnya
keringat karena terdapat beberapa pembahasan menarik yang masing-masing peserta
diskusi memiliki argument yang berbeda antar satu sama lain.
Diskusi berahir pada pukul 17.50 WIB
ditutup dengan pembacaan hasil diskusi oleh sdr. Vivi selaku PJ kala itu.
Millaturrofi'ah