Kamis,
16/11/2017 Forum Studi Hukum Ekonomi Islam (forshei) UIN Walisongo Semarang
kembali mengadakan kegiatan rutin, yaitu diskusi primer yang mana
merupakan salah satu program kerja bidang kajian dan penelitian. Diskusi
dimulai pukul 15.30 WIB dan berakhir pukul 17.45 WIB. Tempat pilihan bagi para
kader untuk berdiskusi biasanya di taman kecil di samping Auditorium II Kampus
III UIN Walisongo Semarang, namun karena cuaca tidak mendukung diskusi dipindah
di perpustakaan pusat UIN Walisongo Semarang. Kajian ini terselenggara bukan
hanya membahas seputar ekonomi islam, namun juga bertujuan untuk mempererat ukhuwah
islamiyah antar kader forshei. Dalam diskusi hari ini hanya dihadiri oleh kader 2016 saja.
Adanya diskusi tersebut diharapkan dapat mengembangkan mental kader dalam
mengemukakan pendapat dan melatih berpendapat secara sistematis dan logis,
serta mengembangkan kader untuk berpikir kritis. Dalam diskusi kali ini membahas
masalah Hukum Kewarisan.
Hukum
kewarisan atau sering dikenal dengan istilah faraidh. Hal ini dalam Islam,
bagian-bagian warisan yang menjadi hak ahli waris telah ditentukan dalam al-Qur’an.
Hukum kewarisan dalam Islam mendapat perhatian besar, karena pembagian warisan
sering menimbulkan akibat-akibat yang tidak menguntungkan. Secara etimologis,
faraidh diambil dari kata fardh yang berarti taqdir “ketentuan”. Dalam istilah
syara’ kata fardh adalah bagian yang telah ditentukan bagi ahli waris. Pengertian
hukum kewarisan menurut Pasal 171 huruf a Kompilasi Hukum Islam adalah hukum
yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah)
pewaris, menentukan siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagian masing-masing.
Dalam konteks yang lebih umum, warisan dapat diartikan sebagai perpindahan hak
kebendaan dari orang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya yang masih hidup
dalam hal ini bisa keluarga maupun sanak sudara.
Adapun
yang menjadi dasar pelaksanaan pembagian harta warisan dalam hukum Islam adalah
berpedoman pada ayat-ayat al-Qur’an, salah satunya pada surat An-Nisa’ ayat 7,
yang artinya : “Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu
bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta
peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut
bahagian yang telah ditetapkan”. Adapun
beberapa rukun pembagian waris yaitu pewaris, harta warisan, dan ahli waris.
Ketiga unsur tersebut saling berkaitan, dan masing-masing mempunyai ketentuan
tersendiri. Pewaris adalah orang yang pada saat meninggal beragama Islam,
meninggalkan harta warisan dan ahli waris yang masih hidup. Istilah pewaris
secara khusus dikaitkan dengan suatu proses pengalihan hak atas harta dari
seseorang yang telah meninggal dunia kepada keluarganya yang masih hidup. Oleh
karena itu, seseorang yang masih hidup dan mengalihkan haknya kepada
keluarganya tidak dapat disebut pewaris, meskipun pengalihan itu dilakukan pada
saat menjelang kematiannya. Harta warisan adalah harta bawaan ditambah
dengan bagian dari harta bersama sesudah digunakan keperluan pewaris selama
sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah, dan pembayaran utang serta
wasiat pewaris. Sedangkan pengertian harta warisan menurut Pasal 171 huruf
e KHI yaitu : “Harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta
bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai
meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan
pemberian untuk kerabat”. Ahli waris adalah orang yang berhak mewaris
karena hubungan kekerabatan (nasab) atau hubungan perkawinan (nikah) dengan
pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli
waris.
Dalam
hukum kewarisan Islam ada tiga penghalang mewaris, yaitu pertama pembunuhan. Pembunuhan
apabila seseorang ahli waris membunuh pewaris, misalnya seseorang anak membunuh
ayahnya maka ia tidak berhak mendapatkan warisan. Pembunuhan yang
dilakukan ahli waris terhadap pewarisnya menyebabkan ia terhalang haknya untuk
mewarisi. Karena itu, yang terpenting adalah bagaimana membuktikan bahwa
seseorang telah bersalah melakukan pembunuhan terhadap si pewaris. Rasulullah
SAW bersabda : “Barangsiapa membunuh seorang korban,
maka ia tidak berhak mewarisinya, meskipun korban tidak
mempunyai ahli waris lainnya selain dirinya, baik itu orang tuanya, atau
anaknya maka bagi pembunuh tidak berhak atas warisan”. (Riwayat Ahmad). Kedua
berbeda agama, berbeda agama berarti agama pewaris berbeda dengan agama ahli
waris. Misalnya pewaris beragama Islam, sedangkan ahli warisnya beragama Kristen,
atau sebaliknya. Imam Ahmad ibn Hanbal dalam salah satu pendapatnya mengatakan
bahwa apabila seseorang ahli waris masuk Islam sebelum pembagian warisan
dilakukan, maka ia tidak terhalang untuk mewarisi. Alasannya, karena status
berlainan agama sudah hilang sebelum harta warisan dibagi. Ketiga
perbudakan, perbudakan menjadi penghalang mewarisi, bukanlah karena status
kemanusiannya, tetapi semata-mata karena status formalnya sebagai hamba sahaya
(budak).
Sementara
itu dalam Pasal 173 KHI seseorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan
putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena
pertama dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya
berat pada pewaris. Kedua dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan
pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan
hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat. Dalam
pembagian harta waris untuk kerabat laki-laki yang berhak mendapat harta waris
terdapat 15 yaitu: anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki, bapak,
kakek/ayahnya ayah, saudara laki-laki sekandung, saudara laki-laki sebapak,
saudara laki-laki seibu, anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung, anak
laki-laki dari saudara laki-laki sebapak, suami, paman sekandung, paman
sebapak, anak dari paman laki-laki sekandung, anak dari paman laki-laki
sebapak, laki-laki yang memerdekakan budak. Selain yang disebut di atas
termasuk “dzawil arham”, seperti paman dari pihak ibu, anak laki-laki saudara
seibu dan paman seibu, dan anak laki-laki paman seibu dan semisalnya tidak
mendapat harta waris. Adapun
ahli waris perempuan terdapat 11, yaitu: anak perempuan, cucu perempuan dari
anak laki-laki, ibu, nenek / ibunya ibu, nenek / ibunya bapak, nenek / ibunya
kakek, saudari sekandung, saudari sebapak, saudari seibu, isteri, wanita yang
memerdekakan budak. Semua keluarga wanita selain ahli waris sebelas ini,
seperti bibi dan seterusnya dinamakan “dzawil arham”, tidak mendapat harta
waris.
Namun
terdapat catatan dalam pembagian harta waris. Pertama, bila ahli waris
laki-laki yang berjumlah lima belas di atas masih hidup semua, maka yang berhak
mendapatkan harta waris hanya tiga saja, yaitu : Bapak, anak dan suami.
Sedangkan yang lainnya mahjub (terhalang) oleh tiga ini. Kedua, bila ahli waris
perempuan yang berjumlah sebelas di atas masih hidup semua, maka yang berhak
mendapatkan harta waris hanya lima saja, yaitu : Anak perempuan, cucu perempuan
dari anak laki-laki, ibu, isteri, saudari sekandung. Ketiga, jika semua ahli
waris laki-laki dan perempuan masih hidup semuanya, maka yang berhak
mendapatkan harta waris lima saja, yaitu : Bapak, anak, suami, atau isteri,
anak perempuan, dan ibu.
Keseruan
diskusi terus berlanjut dan tanya jawab dari berbagai kader silih berganti
hingga membuat suasana diskusi semakin hidup meskipun dibarengi dengan cuaca
mendung dan gerimis, hingga tak terasa semakin gelap dan waktu menunjukan pukul
17.45. Notulensi dari berbagai kelompok diskusi masing-masing membacakan
kesimpulan hasil diskusi. Sebelum pulang seluruh kader menutup diskusi dengan
bacaan al-Hamdulillah dan kemudian dilanjut dengan melakukan tos bersama.