Konsumsi adalah hal yang niscaya dalam kehidupan manusia,
karena manusia membutuhkan berbagai konsumsi untuk memertahankan hidupnya. Manusia perlu makan untuk hidup, berpakaian untuk melindungi tubuh dari berbagai terpaan cuaca, memiliki tempat tinggal untuk berteduh dan beristirahat serta
menjaganya dari berbagai gangguan.
Dalam ilmu ekonomi Islam, konsumsi diartikan sebagai pemakaian
barang untuk mencukupi suatu kebutuhan secara langsung, atau penggunaan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan manusia. Sedangkan
Yusuf al-Qardhawi mendefinisakan konsumsi dengan pemanfaatan hasil produksi yang
halal dengan batas kewajaran agar manusia dapat hidup aman dan sejahtera.
Dengan demikian, konsumsi tidak terbatas pada makan dan minum semata, melainkan mencakup segala pemakaian dan pemanfaatan barang dan jasa untuk
memenuhi kebutuhan manusia dalam hidupnya.
Adapun tujuan konsumsi dalam Islam, yaitu.
Pertama, dalam memenuhi berbagai kebutuhan, mulai dari
kebutuhan pokok (dharuriyyah), yaitu kebutuhan yang harus dipenuhi oleh
seseorang karena terkait dengan keberlangsungan hidupnya, seperti kebutuhan makan,
minum, oksigen, dan lain-lain. Kedua, kebutuhan sekunder (hajiyyah), yaitu kebutuhan yang diperlukan dalam hidup manusia untuk mengatasi
kesulitannya, tetapi jika kebutuhan ini tidak terpenuhi, tidak sampai mengancam atau berakibat pada kehidupannya. Seperti kebutuhan akan kendaraan
untuk memudahkan dan memercepat kegiatan usaha, sarana dan prasarana pendidikan
yang dapat menunjang kegiatan belajar mengajar, sarana kesehatan dan
sebagainnya. Ketiga, kebutuhan tersier (tahsiniyyah) yaitu kebutuhan
yang bersifat aksesoris, pelengkap dan memberi nilai tambah pada kebutuhan
pokok dan sekunder, misalnya arsitektur masjid, desain gedung sekolah dan rumah sakit yang indah,dan sebagainya.
Dalam Islam, berikut prinsip-prinsip konsumsi. Pertama prinsip halal, seorang muslim diperintah dalam al-Qur’an untuk memakan-makanan yang halal (sah menurut hukum
dan diizinkan), dan tidak memeroleh secara haram (tidak sah menurut hukum dan terlarang). Kedua, prinsip kebersihan dan menyehatkan, orang-orang yang beriman diingatkan untuk memakan-makanan yang thayyib dan menjauhakn diri dari yang khabaita.
Kata thayyib bermakna menyenangkan, manis, diizinkan, menyehatan, suci,
dan kondusif untuk kesehatan. Sedangkkan khabaitas adalah barang-barang
yang tidak suci, tidak menyenangkan, buruk dan tak sedap dipandang dan dimakan. Ketiga, prinsip kesederhanaan dalam konsumsi berarti bahwa orang haruslah mengambil
makanan dan minuman sekadarnya dan tidak berlebihan karena makanan
yang berlebihan itu berbahaya bagi kesehatan.
Produksi adalah sebuah proses yang lahir
seiring dengan keberadaan manusia dimuka bumi. Menurut Adiwarman Karim,
produksi lahir dan tumbuh dari menyatunya manusia dan alam. Secara umum,
produksi adalah penciptaan nilai guna yang berarti kemampuan suatu barang atau
jasa untuk memuaskan kebutuhan manusiawi tertentu. Menurut Al-Ghazali produksi
adalah pengerahan secara maksimal sumber daya alam (row material) oleh sumber daya manusia, agar menjadi barang yang
bermanfaat bagi manusia. Dalam perspektif al-Qur’an, kegiatan produksi tidak
hanya berorientasi untuk memeroleh keuntungan sebanyak-banyaknya, tetapi tujuan
utama produksi adalah untuk kemaslahatan individu dan masyarakat di dunia.
Bahkan disamping itu, produksi dimaksudkan untuk mendapatkan nilai guna (utilitas) di dunia, juga dimaksudkan
untuk mencapai kebahagiaan (falah) di
akhirat.
Menurut Nejatullah
Ash-Shiddiqi, tujuan produksi yang pertama yaitu pemenuhan kebutuhan-kebutuhan
individu secara wajar. Kedua, pemenuhan kebutuhan keluarga. Ketiga, bekal untuk
generasi mendatang. Keempat, bantuan kepada masyarakat dalam rangka beribadah
kepada Allah. Dalam al-Qur’an mengklasifkasi barang-barang atau komoditas dalam
dua kategori, yaitu komoditas thayyibat
yakni komoditas yang secara hukum halal diproduksi dan dikonsumsi, artinya
komoditas ini diperbolehkan dalam agama Islam. Kedua, komoditas khabaits yakni komoditas yang secara
hukum dilarang untuk diproduksi dan dikonsumsi misalnya minuman yang memabukan,
daging babi dan daging anjing.
Secara umum
faktor-faktor produksi mencakup empat hal. Pertama, Sumber Daya Alam (SDA),
Allah Menciptakan bumi dan segala isinya sebagai SDA untuk dikelola manusia
demi kepentingan dan kebutuhan hidupnya. Allah SWT berfirman dalam surat
Al-Baqoroh ayat 29 yang dimaksudkan bahwa “konsep tanah sebagai sumber daya
alam memiliki makan luas yang mencakup segala sesuatu yang ada di dalam, di
luar, maupun di sekitar bumi (darat, udara, dan laut) yang menjadi
sumber-sumber ekonomi seperti pertambangan, pasir, tanah pertanian, sungai dan
lain sebagainya”. Kedua, tenaga kerja, Allah SWT menciptakan manusia di bumi
dengan tugas untuk memakmurkan bumi, dalam arti memanfaatkan sumber di bumi
dengan mengelola dan memproduksi hasil-hasil bumi sehingga tercapai
kesejahteraan hidup. Ketiga, modal, menurut M Abdul Mannan, modal memiliki
posisi yang strategis dalam ekonomi Islam sebagai sarana produksi yang
mengahsilkan tidak sebagai faktor produksi pokok melainkan sebagai perwujudan
tanah dan tenaga kerja. Alasannya adalah kenyataan yang menunjukan bahwa modal
dihasilkan oleh pemanfaatan tenaga kerja dan penggunaan sumber-sumber daya alami.
Islam menganjurkan agar modal dapat dikembangkan melalui berbagai transaksi,
seperti transaksi jual beli, transaksi bagi hasil, baik itu mudharabah ataupun
musyarakah, bahkan jenis transaksi bagi hasil lainnya yang sesuai ajaran Islam.
Transaksi jasa baik itu transaksi rahn
ataupun wadi’ah dan jenis transaksi
jasa lainnya. Keempat, organisasi, organisasi atau manajemen merupakan proses
mengarahkan kegiatan usaha untuk mencapai tujuan. Organisasi mempunyai peranan
penting dalam kegiatan produksi yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan
secara kontinuitas dengan cara memfungsikan dan menyusun unsur-unsur produksi
sebuah perusahaan. Islam sangat mengajurkan seseorang memiliki manajemen yang
baik sebagaiman firman Allah SWT dalam surat Al-Hasyr ayat 18 yang dimaksudkan
bahwa “manajemen atau tata laksana organisasi merupakan faktor produksi yang intangible (tidak dapat diraba),
sekaliun demikian tetapi peranannya sangat besar dan menentukan”.