Wadiah, Hibah, Wakaf dan Pranata Ekonomi Umat sebagai Pendukung Ekonomi Syari'ah



Wadiah, Hibah, dan Wakaf (kader 2018)

          Akad Wadiah menurut bahasa adalah menginggalkan, menurut istilah yaitu akad yang intinya meminta tolong kepada seseorang  atau badan hukum untuk memelihara harta penitipan dan hatra itu boleh diambil kembali. Dasar hukum akad wadiah: QS. An-Nisa’ ayat 58, QS. Al-Baqarah ayat 283 dan DSN NO. 01/dsn-mui/4/IV Tahun 2000 tentang Tabungan, Giro dan Deposito.

          Rukun wadiah terdiri dari: Muwaddi’ (orang yang menitipkan), Wadi’i (orang yang dititpi). Wadi’ah(barang ang dititpkan) Shighot( ijab dan qabul). Syarat wadiah  yaitu: Wadi’ah dan wadi’i harus balig, berakal, dan dewasa. Sedangkan Wadi’ah harus berupa suatu barang yang berharga, berada kekuasaaannya dan nyata. Wandiah dibagi menjadi dua jenis yaitu: Wadiah yad amanah, yaitu dimana penitip hanya memberikan amanah tidak ada kewajiban untuk menanggung kerusakan kecuali karena kelalaianya. Wadiah yad dhomanah, dimana wadi’i boleh memanfaatkan wadiah dengan izin Muwaddi’ dan haus menanggung kerusakan.

          Pengertian dari Hibah, secara bahasa diartikan pemberian. Sedangkan menurut istilah diartikan pemberian yang dilakukan seseorang kepada pihak lainya tanpa adanya sebab. Dasar hukum hubah yaitu: QS. Al-Baqarah ayat 177. Sedangkan rukun dan syarat hibah ialah: wahid (pemberi hibah) harus memiliki barang yang akan dihibahkan, balig, berakal, atas kemauan sendiri, dan dibenarkan melakukan hukum. Mauhun Lahu (orang yang diberi hibah) ketentuannya wajib hadir saat hibah diberikan atau dilaksanakan. Mauhub (barang yang di hibahkan) tertentuannya harus nyata, barang yang bernilai, harus dapat dimiliki, dan dapat diambil alih. Sighot (ijab dan qabul) diucapkan saat pelaksanaan. Hibah menurut hukumnya ada Wajib, Makruh dan Haram. Macam-macam Hibah, hibah barang yaitu memberikan barang sepenuhnya tanpa menharapkan imbalan, hibah manfaat yaitu hanya memberikan manfaat saja yang dihibahka, barangnya tetap menjadi milik wahid.

           Wakaf menurut bahasa menahan / berhenti. Menurut istilah yaitu memisahkan harta / menyerahkan sebagian harta miliknya untuk orang lain dan tidak bisa diambil kembali. Rukun wakaf terdiri dari wakif (orang yang berwakaf) harus baligh, berakal dan cakap hukum, maukuf alaih (penerima wakaf),  maukuf bih (baran yang diwakafkan) harus berupa benda, dapat diserahkan, milik sendiri dan dapat dimanfaatkan. Dasar hukum wakaf terdapat dalam QS. Al-Hajj: 77, QS. Al-Imaran: 92 dan UU No. 41 tahun 2004. Jenis wakaf ada dua wakaf kepada anak cucu dan wakaf kepada masyarakat atau umum.

Pranata Ekonomi Umat Sebagai Pendukung Ekonomi Syariah (kader 2017)

DSN-MUI (Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia).
          Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) dibentuk dalam rangka mewujudkan aspirasi umat Islam mengenai masalah perekonomian dan mendorong penerapan ajaran Islam dalam bidang perekonomian/keuangan yang dilaksanakan sesuai dengan tuntunan syariat Islam.

            Pembentukan DSN-MUI merupakan langkah efisiensi dan koordinasi para ulama dalam menanggapi isu-isu yang berhubungan dengan masalah ekonomi/keuangan. Berbagai masalah/kasus yang memerlukan fatwa akan ditampung dan dibahas bersama agar diperoleh kesamaan pandangan dalam penanganannya oleh masing-masing Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang ada di lembaga keuangan syariah.

            Untuk mendorong penerapan ajaran Islam dalam kehidupan ekonomi dan keuangan, DSN-MUI akan senantiasa dan berperan secara proaktif dalam menanggapi perkembangan masyarakat Indonesia yang dinamis dalam bidang ekonomi dan keuangan.

BASYARNAS
Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) adalah sebuah wadah alternatif diluar pengadilan (non-litigasi) di dalam penyelesaian sengketa atau perkara diperbankan syariah dan Lembaga Keuangan Syariah (LKS) lainnya. Keberadaan Basyarnas saat ini sangat dibutuhkan oleh umat Islam Indonesia, terlebih dengan semakin marak dan berkembangnya perusahaan perbankan dan keuangan syariah di Indonesia dewasa ini. Oleh karena itu, pertumbuhan ekonomi dan bisnis syariah yang pesat dan kompleks tersebut sangat berpotensi untuk melahirkan berbagai macam bentuk kerjasama atau transaksi bisnis. Maka, dengan semakin meningkatnya kerjasama bisnis tersebut, secara tidak langsung akan mendorong terjadinya persengketaan bisnis yang lebih tinggi diantara para pihak yang terlibat di dalamnya.

Basyarnas yang sebelumnya bernama Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI), yang menandai kehadiran lembaga arbitrase Islam pertama kali di Indonesia, dan Basyarnas sendiri merupakan salah satu perangkat dari organisasi MUI.

Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) merupakan badan yang dapat menyelesaikan sengketa perdata/muamalat Islam dengan memutuskan suatu keputusan hukum atas masalah yang dipersengketakan dengan cara tahkim. Keputusan yang telah ditetapkan oleh BASYARNAS terhadap perkara yang diajukan kepadanya bersifat binding (mengikat) dan final (tidak ada banding atau kasasi).

Namun demikian pembatalan keputusan arbitrase dapat dilakukan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa. Penetapan syarat-syarat arbiter dan penyelesaian sengketa perdata/muamalah Islam melalui BASYARNAS dimaksudkan untuk meningkatkan kinerja lembaga tersebut pada masa yang akan datang. Disamping itu untuk meningkatkan profesionalasme, kerahasiaan para pihak yang bersengketa, kearifan dan kepekaan arbriter, dan kecepatan serta efesiensi biaya bagi penyelesaian sengketa.

KHES
Amandemen atau perubahan atas UndangUndang No 7 Tahun 1989 menjadi UndangUndang No 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, terutama dalam Pasal 1 angka 37 disebutkan bahwa wewenang mengadili sengketa yang berkaitan dengan ekonomi syariah menjadi wewenang Pengadilan Agama. Oleh karena itu diperlukan suatu peraturan yang dapat mendukung kinerja Pengadilan Agama Yang dinamakan dengan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah yang materinya sebagian bersumber dari Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI).

Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah dibentuk karena berguna sebagai landasan hukum di bidang ekonomi syariah, kendala pembentukan KHES salah satunya adalah kurangnya kesadaran Pemerintah dan masyarakat akan pentingnya suatu peraturan yang bersumber dari nilai luhur syariat Islam.saran, Pemerintah dan segenap elemen masyarakat maupun MUI harus bahu membahu membuat draft rancangan KHES dan segera mengesahkan, sehingga produk hukum yang mulia ini dapat segera menjadi acuan yang lengkap dalam masalah ekonomi syariah.