Ibnu Hazm memiliki nama lengkap Ali bin Ahmad bin Sa’id
Hazm bin Ghalib bin Khalaf bin Ma’dan bin Sufyan bin Yazid. Beliau lahir di
Cordova pada akhir bulan Ramadhan tahun 384 H dan wafat pada 28 Sya’ban tahun
456 H. Sejak kecil Ibnu Hazm dibesarkan dalam serba kemewahan. Menurut Al-Fath
Ibn Khaqan yang ditulis oleh Mahmud Ali Himayah, bani Hazm merupakan
generasi-generasi yang berilmu, beradab, dan terhormat.
Pemikiran ekonomi Ibnu Hazm fokus terhadap kesejahteraan
masyarakat. Beliau melarang melakukan penyewaan tanah, penggunaan tanah
diperbolehkan dengan prinsip muzaraah
dan tanpa adanya ungkapan sewa. Menurut beliau tanah adalah ciptaan Allah dan
bukan kreasi manusia. Selama tidak dimanfaatkan maka orang lain berhak
memanfaatkannya. Selain itu beliau juga fokus dalam mengentaskan kemiskinan
masyarakat, yakni diperlukan ada pengeluaran harta selain zakat dari orang-orang kaya
yang kemudian didistribusikan kepada orang-orang yang membutuhkan. Urgensi pajak berkaitan dengan etika bagi pengumpul pajak, menurut beliau orang
enggan membayar pajak karena dari pihak pengumpul pajak yang tidak beretika dan
tidak mengikuti prinsip syariah.
Selain Ibnu Hazm terdapat pemikiran ekonomi al-Syatibi,
beliau memiliki nama lengkap Abu Ishaq bin Musa bin Muhammad al-Lakhmi al-Gharnati
al-Syatibi. Lahir di dekat daerah Asy-Syatibah, sebuah daerah dekat Benteng
Granadha pada tahun 730 H dan wafat pada 8 Sya’ban tahun 790 H. Pemikiran
ekonomi al-Syatibi berkaitan tentang konsep kebutuhan dan kemaslahatan (Maqashid Al-Syariah) yang beliau bagi
menjadi tiga tingkatan. Pertama, Dharuriyat
merupakan landasan utama untuk menegakan kesejahteraan manusia di dunia dan
akhirat yang mencakup pemeliharaan lima unsur pokok dalam kehidupan manusia,
yakni agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Kedua, Hajiyat yaitu untuk memudahkan manusia dalam memenuhi
kebutuhan lima unsur pokok tersebut. Ketiga,
Tahsiniyat yakni agar manusia dapat melakukan yang terbaik untuk
menyempurnakan pemeliharaan yang lebih baik terhadap lima unsur pokok tersebut.
Al-Syatibi mengakui adanya hak milik individu tetapi
menolak kepemilikan sumber daya yang dapat menguasai hidup banyak orang
contohnya air. Terkait pemungutan pajak al-Syatibi memiliki pandangan yang sama
dengan al-Ghazali, dimana pemeliharaan kepentingan umum merupakan tanggung
jawab bersama masyarakat. Setiap pemungutan pajak harus dilihat dari sudut
pandang maslahah. Apabila terdapat
kondisi masyarakat tidak mampu melaksanakannya, maka masyarakat dapat
menyumbangkan sebagian kekayaannya melalui baitul
mal.