
Hampir
satu bulan sudah pelajar Indonesia melaksanakan PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh).
Mulai sekolah dasar, menengah, dan perguruan tinggi. Lha tapi kok belum ada
protokol yang jelas dan masih dalam proses dikaji. Sabar ya Pak, ketika masih
hangat menjabat, corona malah numpang lewat.
Terpilihnya
Pak Nadiem sebagai Menteri Pendidikan sempat ramai jadi bahan julidan.
Nyinyiran langsung mode on. Bos ojol kok jadi Mendikbud, muridnya disuruh jadi
tukang ojek. Mau dibawa kemana sistem pendidikan Indonesia, Pakde Jokowi memang
salah memilih. Yaa, begitulah suara online netizen. Pejabat baru di Indonesia
jika tidak langsung dihujat kurang afdhol rasanya, padahal belum berbuat
apa-apa.
Sudah
lima bulan sejak Pak Nadiem menjabat, ternyata kritikan semakin bervariatif.
Apalagi dengan adanya kebijakan “Merdeka Belajar” yang salah satunya menjadikan
UN 2020 sebagai UN terkahir. Tanggapannya terpecah jadi dua, golongan muda
jelas melakukan euforia. Bagi mereka UN perkara hidup dan mati. Tapi golongan
tua jelas lantang berkata tidak.
Heladalah,
Ndilalah ada corona, tanpa adanya kebijakan penghapusan UN jauh-jauh hari malah
UN 2020 ditiadakan gara-gara pandemi. Wahh saya kok curiga, sepertinya pak
Nadiem dapat wahyu dari Malaikat Jibril yaa. Seharusnya langsung saja Pak
Nadiem bilang UN 2020 dihapuskan bukan sebagai UN terakhir.
Sepertinya
Pak Nadiem memang garis takdir yang disiapkan Tuhan bagi Indonesia untuk
mengurus pendidikan ditengah corona. Kalau dulu netizen nyinyir bahwa pak
Nadiem tidak akan kompeten mengurus pendidikan karena latar belakangnya
sebagai bos ojol. Nahh, seharusnya sekarang yang disoroti adalah kemampuan
beliau dalam teknologi untuk memaksimalkan sistem PJJ. Inovasi ojek online saja
sukses, setidaknya pendidikan online lancar ya Pak.
Keahlian
Pak Nadiem dalam menangkap peluang bidang teknologi, ternyata dibuktikan dengan
hasil kerjasamanya bersama owner media belajar daring. Setiap platform yang
menjadi partner menyatakan kesediaannya memberikan fasilitas yang dapat diakses
secara umum dan gratis. Diantaranya ada Ruang Guru, Quipper, Kelas Pintar,
Zenius dan lain-lain.
Materi
yang di sediakan di platform tersebut juga sudah sangat lengkap, bahkan
penyampaiannya cukup menarik. Apalagi gimiknya kan bisa mengurangi jumlah
digit ranking siswa, tadinya peringkat dua digit sekarang satu digit. Jadi
tidak masalah kalau besok masuk sekolah sudah naik kelas, hehe. Tapi my
love, ternyata bukan itu masalahnya.
Fakta
yang terjadi di lapangan adalah orang tua yang kewalahan karena gaptek atau
justru numpang hape tetangga untuk akses PR anaknya. Siswa juga tertekan karena
ternyata yang dilakukan guru, bukan pendampingan belajar secara online. Tapi
cobaan online berupa PR. Atau malah nge prank.
Seperti
adek saya ini. Dapat titah nonton TVRI untuk sekolah, lalu foto diri sebagai
bukti bahwa ikut kelas di TVRI. lha malah selesai foto
langsung minggat padahal kelas belum selesai. Tidak mau menyalahkan siapapun.
Yahh, Corona memang menjadi uji coba dan bukti bahwa pendidikan Indonesia belum
siap hadapi abad 21.
Kalau
Pakde Jokowi meminta Pak Nadiem untuk mengubah kurikulum, sebaiknya di tunda
dulu nggeh pak. Semoga Pak Nadiem sekarang kesibukannya bukan
tentang penggantian kurikulum. Karena jelas masalahnya ada pada tenaga pendidik
dan keterbatasan fasilitas. Padahal anggaran pendidikan bisa sampai Rp 500
triliun, tapi pembelajaran daring ternyata masih kewalahan.
Sekarang
orang tua merasa bingung, mau diapakan anaknya ini. Karena sudah biasa
mengandalkan pihak eksternal. Sekolah ada guru, pulang sekolah masuk bimbel,
sampai rumah banyak PR ngedumel. Dari kerjasama antara orang tua dan guru
saja tidak terbangun. Lalu belajar di rumah apa bisa tetap lancar tanpa ada
protokol yang jelas.
Dalam
hal ini yang dibutuhkan adalah arahan yang jelas, teknis yang lugas. Bagaimana seharusnya
guru melakukan pendampingan belajar secara online. Dan juga bagaimana
seharusnya guru memberikan arahan kepada orang tua untuk melakukan pengawasan.
Jadi gotong royong gitu lho. Bukan jor joran tanpa ada panduan dari
Kemdikbud.
Programnya
harus jelas. Mempertimbangkan juga dari sisi ekonomi sosial masyarakat. Tidak
semua orang tua bisa membayar beban belajar daring. Walaupun Pak Nadiem sudah
memberi referensi platform belajar gratis. Nyatanya yang digunakan guru adalah
media berbayar seperti whatsapp. Lalu bagaimana untuk daerah yang
terbatas akses sinyal, itu juga harus diatasi.
Program
cemerlang Pak Nadiem sangat di tunggu, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak (PPPA) mendapati bahwa 56% anak mengaku tidak suka belajar
dari rumah. Ini karena pelampiasan belajarnya hanya tugas, tugas, dan tugas.
Sudah 1
bulan berlalu. Masih ada bulan bulan berikutnya sampai akhirnya pandemi
berakhir. Tolong Pak jangan sibuk membuat kurikulum baru. Transisi kurikulum
yang pernah terjadi disaat bebas corona saja cukup belibet. Program “Merdeka
Belajar” sebelumnya sudah cukup baik, jadi jangan sampai berubah
filosofinya menjadi “Merdeka dari Belajar”.
Saya yakin Pak Nadiem orang hebat. Bisa menjadi Founder salah satu
Unicorn di Indonesia. Apalagi jadi lulusan Harvard University dan mengikuti
program foreign exchange di Loncon School of Economics. Saya percaya, Pak
Nadiem masih mengkaji protokol belajar dari rumah, karena memang akan membuat
gebrakan baru. Stay safe, Pak, kami menunggu.
Penulis
Pengetik Mageran