Saya yakin, saat ini kita begitu menderita menghadapi krisis
multidimensi akibat pandemi corona. Banyak sektor usaha yang lesu dan rakyat
miskin yang semakin tersungkur. Ditambah dengan pemerintah yang plin-plan,
serta wakil rakyat kita yang cuma bisa kasih solusi dengan desakan mencetak
uang. Bahkan belakangan mereka malah menjadikan kondisi ini sebagai momentum
untuk melegalkan berbagai RUU kontroversial. Hal ini membuat krisis sepertinya
akan semakin betah menghantui hari-hari di negeri ini. Mungkin satu-satunya industri
usaha yang sumringah hanyalah industri peti mati.
Belakangan, ada sebuah statement yang ramai dishare oleh
beberapa netizen di media sosial. Statement itu berbunyi bahwa kita saat ini
sebenarnya sedang bertarung dengan dua pandemi, yaitu corona dan kebodohan. Melihat
kondisi saat ini, saya berkeyakinan bahwa dua statement itu benar terjadi. Tapi
sadar gak sih, selain dua kondisi itu, ada satu kondisi lagi yang bisa kita
sebut sebagai pandemi.
Jadi bisa disimpulkan bahwa sebenarnya kita sedang menghadapi
3 pandemi, dan pandemi ketiga adalah ketimpangan. Sebelum corona hadir, bisa
dibilang ketimpangan adalah penyakit menahun yang tak pernah bisa diobati di
negeri ini.
Sejak dulu, ketimpangan nyatanya
telah menjangkiti berbagai sector di Indonesia. Mulai dari ketimpangan ekonomi, pendidikan, kesehatan sampai dengan akses jaringan. Apalagi di saat corona
seperti sekarang, penyakit ketimpangan semakin parah terjadi di banyak daerah. Saya
ambil kasus ketimpangan terkait akses jaringan nirkabel yang berimbas pada
ketimpangan-ketimpangan lainnya.
Beberapa waktu lalu, di Flores
ada seorang KADES berjuang selama dua jam di atas pohon demi mengikuti rapat virtual.
Krisis jaringan internet menjadi sebab si Kades harus berjuang sedemikian keras
hanya untuk mendengarkan bupatinya berbicara melalui kanal virtual.
Saya jadi teringat dengan video
parody yang diposting oleh Abdur Arsyad, komika asal Flores di akun instagramnya.
Di videonya, dia memperlihatkan adegan seorang Bapak yang ketika menerima telpon
dari anaknya, harus memanjat pohon kelapa terlebih dahulu agar suara yang
terdengar menjadi lebih jelas. Parodi ini memberikan gambaran bahwa alih-alih
menjadikan internet sebagai budaya, kenyataanya, akses jaringan telepon saja
masih susah di berbagai daerah.
Kasus seperti ini seperti sudah
biasa, seakan-akan telah menjadi kesengsaraan umum yang dianggap wajar.
Berkembangnya zaman nyatanya tidak menyembuhkan penyakit akut atas ketimpangan ini.
Apalagi saat kondisi corona seperti ini, ketimpangan perihal akses jaringan nirkabel
semakin terasa, ditambah dengan adanya anjuran virtualisasi aktivitas yang
dimasifkan oleh pemerintah, membuat masyarakat pinggiran Indonesa mengalami dua
kesengsaraan sekaligus, ancaman corona dan kesulitan akses jaringan.
Infrastruktur jaringan nirkabel
negara kita nyatanya tidak pernah siap. Buaian janji manis mengenai kontruski
budaya 4.0 pun hanya jadi bualan politik. Slogan pembangunan dari hulu ke hilir
nyatanya hanya tentang pembangunan beton-beton tol. Sementara terkait jaringan
nirkabel seperti internet, slogan itu tidak pernah nampak nyata diilhamkan
sebagai prioritas pembangunan.
Kominfo selaku otoritas
kementrian yang bertanggung jawab seperti buta akan hal ini. Kementerian ini
nyatanya hanya sibuk mengurusi konten-konten hoax dan membasmi situs bajakan,
tanpa pernah terlihat serius membuat master plan paten untuk peradaban jaringan
yang merata. Padahal, di saat pandemi, masyarakat dituntut untuk physical
distancing, kebutuhan terkait jaringan nirkabel terutama jaringan internet harusnya
jadi prioritas. Tapi yah mau bagaimana lagi, walaupun menterinya sendiri asli
dari timur, tapi backgroundnya sendiri adalah politisi, yah wajar gak bisa
mikir soal permasalahan ini.
Ketimpangan mengenai jaringan nirkabel ini pun memicu ketimpangan
lainnya. Yang paling terasa adalah sektor pendidikan. Di tengah pandemi,
sekolah-sekolah terpaksa memberlakukan pembelajaran jarak jauh. Tools utama yang
digunakan pemerintah untuk mengatasi kelumpuhan di sektor Pendidikan adalah
internet. Masalahnya, tidak semua daerah mempunyai infrastruktur internet yang
memadai, serta banyak siswa-siswi yang tidak punya akomodasi biaya yang cukup
untuk mendapatkan akses internet.
Ketika siswa-siswi urban
mengeluhkan efektivitas belajar online, susahnya memahami materi-materi online,
siswa-siswi lain yang berada di pinggiran-pinggiran negeri masih berkutat
pada kebingungan bagaimana cara belajar
online di tengah keterbatasan jaringan internet, ketidakmampuan membeli kuota
data untuk internet, hingga yang paling ngenes adalah ketiadaan listrik di
daerah mereka. Mereka masih kesulitan mempersiapkan tools-tools
pendukung agar bisa mendaptkan akses belajar online. Ketimpangan yang demikian,
nyatanya luput dari pertimbangan pemerintah. Mungkin lebih kejamnya, pemerintah
memang tidak pernah mikir tentang masalah ini, alias gak pernah serius.
Keseriusan pemerintah
semakin dipertanyakan, ketika sekelas Menteri Pendidikan Nadiem Makarim baru
mengetahui adanya keterbatasan dan ketimpangan akses listrik dan jaringan di
beberapa wilayah di Indonesia. Kondisi itu semakin mempertegas bahwa selama
ini, program dengan tendensi 4.0 hanyalah buah kelatahan pemerintah yang hanya
meniru dan ikut-ikutan tanpa memperhatikan aspek ketimpangan di masyarakat.
Kemudian pandemi lain yang tidak kalah akut adalah kebodohon. Di
saat ada masyarakat daerah lain berkutat dengan ketimpangan yang menyengsarakan,
sebagian masyarakat lainnya, terutama kalangan urban sibuk mempertontonkan
kebodohan. Saya jadi ingin merevisi statement yang menganggap kebodohan akrab
dengan kemiskinan. Kenyataannya, di era modern, kebodohan lebih sering dilakukan
oleh masyarakat kelas menengah atas yang berada di lingkungan urban dari pada masyarakat
miskin.
Euphoria massa kelas menengah atas yang menggeruduk gerai McD
Sarinah Tamrin menjadi sampling kebodohan yang dilakukan secara masal. Tidak ada
social distancing bahkan physical distancing dalam euphoria itu. Atribut kebijakan
untuk memitigasi penyebaran pandemi pun diabaikan begitu saja demi aksi
seremonial tutupnya sebuah gerai makanan cepat saji.
Pada fenomena lain, kebodohan juga dipertontonkan melalui
budaya prank yang mengesampingkan empati kemanusiaan. Prank sembako sampah, prank
buka puasa, prank layanan ojol dan masih banyak lagi budaya prank yang begitu
bangga ditampilkan di ruang-ruang publik tanpa pertimbangan aspek humanism.
Kebodohan lain yang tidak kalah parah adalah ada orang-orang
kelas menengah atas yang tidak malu memposisikan dirinya sebagai orang miskin. Kasus
seperti ASN di Sukabumi yang menyembunyikan bansos untuk dirinya sendiri dan
keluhan seorang karyawan swasta di media sosial begaji 20 juta perbulan yang
mengemis minta dikasihani, merupakan wujud nyata bahwa masyarakat kelas
menengah atas telah terkikis nalar kemanusiaannya. Mereka tanpa malu mempertotonkan
kebodohan akut.
Dan kebodohan terbaru yang ramai saat ini adalah tentang statement
bodoh seorang youtuber. Dalam sebuah podcast, si youtuber ini begitu bangga menjelaskan
bahwa dia tak pernah pakai masker dan tidak pernah cuci tangan saat makan. Pernyataan
ini seperti meremehkan orang lain di luar sana yang berusaha ikhtiar patuh demi
harapan negeri ini terbebas dari corona.
Serangkaian parade kebodohan yang dipertontonkan di atas
adalah fakta miris di tengah upaya mengantisipasi krisisi di tengah pandemi. Kembali
pada statement viral di awal tulisan, Ditambah dengan adanya ketimpangan, pada akhirnya,
“I Swear We Are Fighting Three Pandemics, Coronavirus, Stupidity, and
Partiality”. Dan lagi – lagi, yang menjadi korban dari itu semua adalah masyarakat
miskin.
Sumber gambar : ppdpp.id
Penulis: