Sudah sepuluh bulan Indonesia dilanda pandemi Covid-19, terhitung sejak dikonfirmasi pada 2 Maret 2020. Sejauh ini, pandemi Covid-19 masih menjangkiti sektor-sektor penting di Tanah Air, mulai dari sektor kesehatan hingga sektor ekonomi. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah, salah satunya dengan menyalurkan anggaran sebesar Rp 800 triliun untuk menangani pandemi Covid-19, adapun dari jumlah tersebut Rp 695,2 triliun diantaranya dialokasikan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). APBN memiliki peranan penting untuk mencapai tujuan pemerintah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di masa pandemi. Namun, akibat kecilnya penerimaan negara dan anggaran belanja yang besar membuat APBN mengalami defisit. Hingga Oktober 2020, defisit APBN mencapai Rp 764,9 triliun atau sebanding dengan 4,67 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Dikutip dari cnnindonesia.com, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad mengatakan jika APBN 2021 diperkirakan dalam kondisi tidak sehat dikarenakan adanya pembengkakan anggaran. Penerimaan negara pada tahun 2021 diproyeksikan hanya sebesar Rp 1.743,6 triliun yang bersumber dari Penerimaan Perpajakan sebesar Rp 1.444,5 triliun dan Penerimaan Negara Bukan Pajak sebesar Rp 298,2 triliun. Angka ini lebih rendah 21,9 persen dari APBN 2020 sebelum pandemi yaitu Rp 2.233 triliun. Kendati demikian, belanja pemerintah pada 2021 akan meningkat 8,3 persen atau senilai Rp 2.750 triliun. Anggaran ini nantinya didistribusikan di beberapa sektor diantaranya sektor pendidikan sebesar Rp 550 triliun, kesehatan Rp 169,7 triliun, program perlindungan sosial Rp 408,8 triliun, infrastruktur Rp 417,4 triliun, ketahanan pangan Rp 99 triliun, pariwisata Rp 14,2 triliun, dan pengembangan TIK Rp 26 triliun. Karena tingginya tingkat defisit, maka pemerintah menetapkan defisit anggaran 2021 sebesar 5,7 persen dari PDB atau setara dengan Rp 1.006,37 triliun.
Direktur Eksekutif INDEF menyayangkan keadaan APBN 2021 yang tidak mencerminkan upaya pemerintah dalam memulihkan perekonomian Indonesia yang diproyeksikan menyusut sepanjang 2020. Pasalnya, program peningkatan daya beli masyarakat yaitu bantuan sosial (bansos) yang semula sebesar Rp 203,9 triliun akan dipotong menjadi Rp 110 triliun pada tahun depan. Demikian pula jika dilihat dari pertumbuhan ekonomi 2021 yang hanya sebesar 3 persen, maka pelebaran defisit APBN tidak efektif dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Di sisi lain, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan pelebaran defisit ini sejalan dengan upaya pemerintah dalam menangani dampak pandemi Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), ketika penerimaan negara masih belum sepenuhnya pulih. Meski demikian, Sri Mulyani menyatakan bahwa pemerintah tidak bisa mengembalikan defisit APBN 2021 ke batas maksimal 3 persen secara cepat karena dikhawatirkan akan membuat perekonomian nasional kembali rentan. Dalam APBN 2020 saja pemerintah telah memperbesar defisit anggaran menjadi 6,34 persen dari PDB.
Oleh karena itu, pemerintah harus segera merancang kebijakan supaya APBN tetap dalam kondisi sehat dan perekonomian pun tetap terjaga. Menurut Sri Mulyani, pemerintah bisa menempuh berbagai cara untuk mengatasi defisit anggaran. Pertama, mengukur presentase penerimaan pajak terhadap PDB dan kepatuhan masyarakat dalam membayar pajak. Kedua, menerbitkan obligasi atau surat berharga untuk meningkatkan penyerapan dana masyarakat. Ketiga, menyortir program-program unggulan dan mengurangi anggaran untuk program yang tidak berpengaruh terhadap pajak, devisa dan sektor riil. Melalui kebijakan ini, pemerintah berharap defisit APBN dapat diperbaiki guna membangun kembali perekonomian nasional.
Sumber Gambar: Sindonews
Penulis: Nela Aini Najah