Penggunaan layanan ekonomi digital yang semakin masif mendorong meningkatnya jumlah transaksi online terutama pada masa Pandemi Covid-19. Berdasarkan hasil riset dari Google, Temasek dan Bain & Company menyatakan tahun 2020, Indonesia telah menjadi negara dengan nilai transaksi ekonomi digital tertinggi di Asia Tenggara yakni mencapai US$ 44 miliar meningkat dari tahun 2019 sebesar US$ 40 miliar dan US$ 27 miliar pada tahun 2018. Pada tahun 2025 diprediksi akan meningkat signifikan menjadi US$ 124 miliar. Sedangkan proyeksi nilai transaksi e-commerce mencapai US$ 32 miliar atau setara Rp 448 triliun tumbuh 54 persen dari tahun sebelumnya sebesar US$ 21 miliar tahun 2019 dan US$ 12,2 tahun 2018. Momentum pertumbuhan e-commerce di Indonesia juga tecermin dari peningkatan 5 kali lipat jumlah supplier lokal yang mencoba berjualan online karena pandemi.
Selain itu dilansir dari cnbcindonesia.com, masyarakat yang bertransaksi di e-commerce naik mencapai Rp 36 triliun atau naik 26% dari rata-rata bulanan. Kemudian transaksi harian menjadi 4,8 juta yang naik rata-rata dari kuartal II-2020 yang sebesar 3,1 juta. Sementara itu, untuk konsumen baru mencapai 51% yakni berasal dari belanja online saat diberlakukannya pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Digital Ketenagakerjaan dan UMKM Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Rudy Salahuddin pandemi Covid-19, membuat perilaku kehidupan masyarakat berubah, dari yang tadinya berbelanja secara konvensional, saat ini untuk menghindari penularan virus corona, masyarakat lebih senang untuk berbelanja secara daring atau online. Potensi digital ekonomi Indonesia memang terbilang besar, pasalnya Indonesia merupakan negara dengan pengguna ponsel sebanyak 338,2 juta atau 124% dari jumlah populasi penduduk dimana terdapat 175,4 juta penduduk diantarnya yang memanfaatkan internet di kehidupan sehari-hari.
Sementara itu, Institute for Developments of Economics and Finance (Indef) menyoroti maraknya produk impor yang dijual melalui platform e-commerce. Peneliti Center of Innovation and Digital Economy Indef Media Wahyudi Askar menyebut porsi produk impor bisa mencapai 90 persen. Padahal, produk impor yang membanjir akan membuat upaya Kementerian Perdagangan membasmi praktik predatory pricing dan melindungi produk lokal di platform belanja online makin sulit dilakukan. Ketimpangan ekonomi pun muncul dari maraknya digitalisasi di Indonesia. Pasalnya, mayoritas pedagang yang kini memanfaatkan platform e-commerce bukanlah UMKM melainkan pelaku usaha besar.
Isu Predatory pricing juga disinggung oleh Presiden Republik Indonesia Joko Widodo dalam konferensi pers rapat kerja Kementrian Dalam Negeri (Kmendag) pada 4 Maret 2021. Jokowi mengkhawatirkan maraknya produk-produk impor yang bisa mematikan kelompok Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah ( UMKM). Diduga produk-produk impor yang masuk ke Indonesia banyak menerapkan praktik predatory pricing. Dimana praktik tersebut dapat merusak kompetisi pasar karena pelaku menjual produk dengan harga yang sangat rendah. Regulasi mengenai larangan predator pricing sendiri sebenarnya telah diatur dalam UU No. 5 Tahun 1999 pasal 20. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) juga sudah membuat pedoman pelaksanaan pasal 20 tentang Jual Rugi (Predatory Pricing) ini.
Mengingat UMKM sendiri merupakan penyumbang 60% Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia, sudah seharusnya marketplace dapat menjadi jalan untuk meningkatkan perekonomian. Selain itu, berbagai pihak dapat memberi dukungan penuh terhadap UMKM lokal untuk terus bersaing terlebih di dalam ekosistem digital seperti e-commerce.
Sumber Gambar: Sindonews.com
Penulis: Salsabila Dhiya Alriye