Harga Emas Naik Ditopang Pelemahan Dolar, Berpotensi Inflasi Global

Sudah bukan rahasia lagi, emas adalah jenis logam mulia yang paling “digemari” masyarakat baik untuk investasi maupun digunakan sehari-hari. Investasi emas dianggap aman atau risk free bagi orang awam yang ingin berinvestasi tetapi tidak mau mengambil risiko. Hal ini menjawab pertanyaan akan banyaknya masyarakat yang senang menyimpan emas mereka untuk investasi di kemudian hari dibandingkan untuk terjun langsung ke investasi saham ataupun obligasi. Sayangnya, logam mulia menjadi instrumen investasi dengan kinerja paling buruk sepanjang paruh pertama tahun 2021. Selain itu, faktor lemahnya dolar dikhawatirkan membawa dampak inflasi berkepanjangan. 

Sesuai yang diberitakan pada cnnindonesia.com, pada awal tahun 2021, harga emas berada di Rp 965.000 per gram, lalu harga jual kembali (buyback) emas pada 30 Juni berada di Rp 822.000 per gram. Hal ini tidak terlepas dari harga emas dunia yang juga tertekan sepanjang semester pertama. Harga emas global melemah 7,37 persen pada kurun waktu tersebut.

Namun, semenjak memasuki kuartal kedua 2021, nasib emas membaik seiring adanya potensi kenaikan inflasi AS. Emas sebagai instrumen lindung atas inflasi pun mengalami kenaikan harga dan sempat berada pada grafik US$ 1.900-an, sementara emas naik Rp 970.000-an.

Seperti dilansir dari cnbcindonesia.com, kontrak emas paling aktif untuk permintaan Desember di divisi Comex New York Exchange, naik secara moderat 1,4 dolar AS atau 0,008 persen, menjadi 1.758,40 dolar AS per ons. Untuk minggu pertama Oktober, emas menguat 0,4 persen, dan meskipun sempat melonjak 1,98 persen pada september emas pernah mencatat kerugian tajam sekitar 3,4 persen untuk bulan akhir bulan September.

Yang mana pada tanggal 30 September, emas berjangka melambung 34,1 dolar AS atau 1,98 persen menjadi 1.757 dolar AS, setelah merosot 14,6 dolar atau 0,84 persen menjadi 1.722,90 dolar AS pada 29 September, dan jatuh di 14,5 dolar AS atau 0,83 persen menjadi 1.7337,50 dolar AS pada 28 September.

Disusul dengan penurunan dolar dan imbal hasil obligasi yang lebih rendah mendukung emas untuk semakin melonjak tinggi. Sementara para investor memposisikan ulang investasi mereka untuk kuartal keempat dengan tujuan menghindari kerugian fatal akibat pelemahan dolar dan rendahnya imbal hasil obligasi global.

Semakin tinggi daya tarik investor terhadap emas, saham Eropa dan Asia jatuh ditengah kekhawatiran mengenai risiko inflasi dan kemungkinan perlambatan pertumbuhan ekonomi. Seperti yang diutarakan analis Saxo Bank Ole Hansen, bahwasannya kemungkinan akan muncul pertumbuhan dan pendapatan yang akan mendukung peningkatan harga emas yang diprediksi akan menyebabkan inflasi. 

Sementara untuk rendahnya imbal hasil obligasi global dipengaruhi oleh pengurangan stimulus dan suku bunga yang lebih tinggi dan cenderung meningkatkan peluang kerugian pemegang saham non emas. Dengam semakin menurunnya imbal hasil obligasi global maka akan mempengaruhi tingkat kurs dolar AS.

Sementara itu, departemen perdagangan AS melaporkan bahwa harga pengeluaran konsumsi pribadi naik 0,4 persen pada Agustus dan 4,3 persen per September 2021. Serta peningkatan Indeks Manager Pembelian (IMP) Manufaktur AS yang dirilis IHS menjadi 60,7 persen pada September dari semula 60,5 persen pada Agustus.

Kendati begitu, indeks sentimen Universitas Michigan (UM) berada di angka 72,8 pada September, naik dari 70,3 pada Agustus, yang akan lebih membatasi pertumbuhan emas. Meskipun dibatasi dengan indeks sentimen kenaikan harga emas akan lebih kuat lagi dengan faktor penunjang yang mana harga logam mulia lainnya juga mengalami kenaikan yaitu pada Desember naik 48,9 sen atau 2,22 persen menjadi 22,536 dolar AS per ons. Platinum untuk Januari 2021 naik 11,2 dolar AS atau 1,16 persen, menjadi 973,6 dolar per ons.

Jika harga emas mengalami kenaikan secara terus menerus pada kuartal kedua tahun 2021 ini, dikhawatirkan akan terjadi inflasi berkepanjangan terutama pada pasar saham Eropa dan Asia. Meskipun kenaikan harga emas menguntungkan para investor, namun risiko inflasi global akan lebih mengkhawatirkan. Diharapkan baik pemerintah dunia ataupun Indonesia bersiap akan kenaikan harga emas yang mana akan berdampak inflasi pada pasar serta perlambatan pertumbuhan ekonomi pascapandemi. Kendati begitu, penguatan harga emas diprediksi tidak akan terlalu tinggi karena pasar masih menanti kebijakan tapering atau pengurangan likuiditas dari bank sentral AS, The Federal Reserve (The Fed).


Sumber gambar: voi.id

Penulis: Anggi Nofita Sari