Asuransi Syariah adalah asuransi berdasarkan prinsip
syariah dengan usaha tolong-menolong (ta’awuni)
dan saling melindungi (takafuli)
diantara para Peserta melalui pembentukan kumpulan dana (Dana Tabarru’) yang dikelola sesuai prinsip syariah untuk menghadapi
risiko tertentu. Asuransi syariah ini terdapat dalam Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) NO:
21/DSN-MUI/X/2001 Akad-akad dalam asuransi syariah antara lain :
1. Akad tabaru’
2. Akad wakalah bil ujrah
3. Akad Mudharabah
Pegadaian Syariah adalah pemberian pinjaman secara syariah dengan sistem
gadai yang diberikan ke seluruh golongan nasabah untuk kebutuhan konsumtif
maupun produktif dengan jaminan barang bergerak seperti emas, perhiasan,
elektronik, kendaraan bermotor atau barang rumah tangga lainnya. Pegadaian syariah ini
terdapat dalam Fatwa DSN MUI Nomor 25/DSN-MUI/III/2002. Akad akad dalam pegadaian syariah antara
lain :
1. Akad ijarah
2. Akad Rahn
B.
Perbandingan konsep syari’ah dan konvensional
1. Perbedaan asuransi syariah dan konvensional
antara lain :
a. Konsep asuransi syariah memiliki konsep sharing risk sedangkan asuransi konvensional memakai konsep
transfer risk
b. Pengelolaan dana
c. Pembagian keuntungan
d. Sistem perjanjian
e. pengawasan
2. Perbedaan konsep pegadaian syari’ah dan
konvensional antara lain :
a. gadai emas dalam konvensional memakai bunga, gadai emas dalam syariah
bebas dari bunga
b. pegadaian konvensional menentukan sewa atau bunga modal berdasarkan
pinjaman yang diajukan, sedangkan pegadaian syariah menentukan besaran pinjaman
dan biaya pemeliharaan berdasarkan taksiran emas yang digadaikan
C.
Skema operasional asuransi syariah dan pegadaian syariah
1.
Skema operasional
asuransi syariah
Ø
Akad
asuransi adalah kesepakatan antara peserta dan perusahaan asuransi dengan visi
menolong anggota lain yang kesusahan.
Ø
Uang iuran
peserta bakal disimpan dan digunakan untuk membayar klaim peserta yang sedang
membutuhkan. Hampir mirip dengan konsep arisan, namun cara pengambilan uangnya
adalah dengan pengajuan klaim alih-alih menang kocokan.
Ø
Peran
perusahaan asuransi dalam sistem ini hanyalah sebagai pengelola uang kumpulan
milik nasabah. Mereka hanya punya hak pengelolaan, bukan hak memiliki.
Ø
Namun,
perusahaan pengelola asuransi berhak mendapatkan biaya pengelolaan dan bonus
jika ternyata terjadi untung dalam pengelolaan uang tersebut.
Ø
Pihak yang
mendapat keuntungan investasi maupun menanggung risiko yang timbul adalah
seluruh peserta. Oleh sebab itulah asuransi yang sesuai hukum Islam disebut
dengan produk gotong royong yang dalam bahasa Arab disebut Takaful.
Ø
Asuransi
yang sesuai hukum Islam wajib menyetor dana tabarru, yaitu dana yang bakal
digunakan untuk santunan kepada peserta asuransi lain yang sedang
kesulitan.
Ø
Apabila
setelah masa pembayaran klaim reasuransi cadangan teknis masih tersisa dana,
maka peserta berhak mendapatkan bagian dari kelebihan tersebut. Namun, jika
dana kurang untuk membayar klaim, setiap peserta harus ikut menutupi kerugian
sesuai dengan proporsi masing-masing.
Ø
Jika ada
peserta yang ingin keluar karena gak sanggup lagi membayar premi, dia bakal
tetap mendapatkan premi yang sebelumnya sudah ia bayarkan. Peserta tersebut
paling-paling hanya mendapatkan potongan dana tabarru saja.
Ø
Konsep yang
sudah disebutkan tadi menjadi landasan buat yakin bahwa asuransi yang sesuai
hukum Islam bisa dibilang bebas riba. Apalagi sudah ada fatwa MUI. Tapi, biar
lebih paham mengenai asuransi yang sesuai hukum Islam ini, memang ada baiknya
buat membedakannya dengan asuransi konvensional.
2.
Skema
Operasional pegadaian syariah
a. Nasabah menjaminkan
barang (marhun) kepada pegadaian
syariah untuk mendapatkan pembiayaan. Kemudian pegadaian menaksir barang
jaminan tersebut untuk dijadikan dasar dalam memberikan pembiayaan.
b. Pegadaian syariah dan
nasabah menyapakati akad gadai. Akad ini meliputi jumlah pinjaman, pembebanan
biaya jasa simpanan dan biaya administrasi. Jatuh tempo pengembalian pembiayaan
yaitu 120 hari (4 bulan).
c. Pegadaian syariah
memberikan pembiayaan atau jasa yang dibutuhkan nasabah sesuai kesepakatan.
d. Nasabah menebus barang
yang digadaikan setelah jatuh tempo. Apabila pada saat jatuh tempo belum dapat
mengembalikan uang pinjaman, dapat diperpanjang 1 (satu) kali masa jatuh tempo,
demikian seterusnya. Apabila nasabha tidak dapat mengembalikan uang pinjaman
dan tidak memperpanjang akad gadai, maka pegadaian dapat melakukan kegiatan
pelelangan dengan menjual barang tersebut untuk melunasi pinjaman.
e. Pegadaian (murtahin)
mengembalikan harta benda yang digadai (marhun) kepada pemiliknya (nasabah).
Referensi:
Sumber gambar: liputan6.com
Penulis: Tim forshei materi