Isu mengenai perang antara Rusia dan Ukraina bukan hanya omong kosong semata namun hal tersebut benar-benar terjadi. Rusia akhirnya menyerang negara tetangganya, Ukraina. Presiden Vladimir Putin mengumumkan hal itu secara resmi sejak 24 Februari lalu. Serangan Rusia kemudian dimulai dengan ledakan di sejumlah kota di Ukraina, termasuk Kyiv, Odessa, Kharkiv dan Mariupol. Perang antara Rusia dan Ukraina masih berlangsung hingga hari ini. Konflik kedua negara ini kian memanas dan menyita perhatian masyarakat global.
Secara global, perang di Ukraina adalah bencana bagi dunia yang akan menyebabkan berkurangnya pertumbuhan ekonomi global, termasuk Indonesia. Dilansir dari CNN Indonesia.com, Kementrian Perdagangan membeberkan berbagai dampak dari konflik antara Rusia dan Ukraina terhadap ekonomi Indonesia salah satunya adalah kenaikan harga bahan pokok. Oke Nurwan sebagai Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan mengatakan bahwa hal tersebut telah dan akan tetap dirasakan Indonesia, terutama komoditas utama yang dipasok oleh kedua negara. Oke Nurwan juga menyebut pasokan dan harga komoditas seperti minyak nabati dan tepung yang diproduksi Ukraina bakal terdampak akibat perang kedua negara.
Perlu kita ketahui bahwa hubungan Rusia dengan Indonesia bersifat nostalgic, sehingga dampak langsung adanya invasi Rusia ke Ukraina lebih ke arah sektor perdagangan, meskipun Rusia-Ukraina bukan mitra dagang utama Indonesia. Konflik tersebut dapat berdampak pada bahan makanan yang diimpor oleh Indonesia dari Ukraina, terutama gandum, besi dan baja (23 persen), dan lainnya 2 persen. Impor terbesar Indonesia dari Rusia adalah besi dan baja dan dari Ukraina adalah gandum, sehingga tekanan di sisi pasokan gandum perlu menjadi perhatian bagi pasokan pangan domestik. Data dari APTINDO menggambarkan bahwa konsumsi terigu di Indonesia tumbuh 4,6 persen pada tahun 2021. Lonjakan konsumsi terigu domestik didorong oleh kembali hidupnya perekonomian dan perkembangan bisnis bakery, sehingga jika harga gandum naik, maka pelaku bisnis di sektor itu akan terkena dampak paling besar.
Selain itu, invasi Rusia ke Ukraina juga membuat harga minyak dunia berjangka jenis brent melonjak US$ 12,73 menjadi US$ 130,84 per barel. Kenaikan juga terjadi pada harga minyak jenis west texas Intermediate (WTI) AS yang menguat US$ 9,92 menjadi US$ 125,6 per barel. Kondisi tersebut membuat beberapa Badan Usaha Milik Negara (BUMN) merasakan dampaknya secara langsung. Lonjakan harga minyak dunia membuat perusahaan pelat merah membebankan berbagai kenaikan harga ini kepada masyarakat. Pasokan minyak nabati global juga terancam menipis dengan kisruh Rusia-Ukraina tetapi Indonesia sebagai produsen terbesar sawit tengah mengupayakan adanya kebijakan Domestic Market Obligation (DMO). Dengan adanya kebijakan tersebut, maka potensi pasokan ekspor CPO Indonesia ke pasar global bisa berkurang.
Terakhir, BUMN yang memiliki beban utang atau debt to equity rasio-nya juga besar harus waspada. Pasalnya, krisis di Ukraina juga menciptakan dua hal faktor kunci yang salah satunya adalah fluktuasi nilai tukar yang membuat beban utang luar negeri naik. Termasuk di dalamya adalah bunga pinjaman juga akan semakin mahal.
Untuk mengatasi masalah ekonomi Indonesia dari dampak perang antara Rusia dan Ukrania, pemerintah dinilai perlu menyiapkan bantalan tambahan untuk mengantisipasinya, pemerintah perlu segera menyusun ulang asumsi makro dalam APBN 2022, serta menambahkan alokasi anggaran pada beberapa pos belanja. Selain itu, pemerintah perlu menyiapkan buffer untuk mengantisipasi naiknya inflasi dan penurunan daya beli masyarakat, yaitu melalui revisi anggaran belanja subsidi energi dan bantuan sosial, termasuk stimulus ke dunia usaha.
Sumber Gambar : Kompas.com
Penulis: Siti Sofiatus Sa'adah