Ekonomi Cenderung Melambat, Kira-kira Menguntungkan Atau Merugikan?

 

Dunia saat ini mengalami fenomena melambatnya pertumbuhan ekonomi yang dipicu oleh kenaikan inflasi yang bergejolak serta tingkat pengangguran yang relatif tinggi atau disebut stagflasi, bahkan Bank Dunia (World Bank) mewanti-wanti terhadap kondisi bahaya stagflasi ini.

Stagflasi pertama kali diketahui pada tahun 1970 ketika banyak negara maju mengalami inflasi sekaligus dirundung tingkat pengangguran yang tinggi. Pada masa itu, stagflasi terjadi sebagai dampak dari krisis gejolak minyak saat Amerika mengalami resesi. Hal tersebut menyebabkan kondisi indeks kesengsaraan. Dikutip dari Bisnis.com, stagflasi terjadi ketika jumlah yang beredar mengalami peningkatan sementara pasokan kebutuhan cenderung terbatas. Dalam beberapa teori, stagflasi disinyalir eksis sebagai dampak dari tatanan kebijakan ekonomi yang buruk. Dengan adanya regulasi pasar, barang, dan tenaga kerja yang buruk kemungkinan akan terjadi inflasi. 

Jika dunia dalam kungkungan stagflasi dinilai sangat membahayakan karena stagflasi adalah sebuah kontradiksi dari gagasan ekonomi yang sehat, serta menekan pertumbuhan ekonomi yang berdampak terhadap angka tingginya tingkat pengangguran. Umumnya, meningkatnya taraf pengangguran di sebuah negara akan berdampak pada daya beli konsumen. Jika hal tersebut terus terjadi secara tak terkendali, selain dapat berdampak pada hadirnya inflasi, tetapi juga bisa memantik merosotnya nilai tukar uang di sebuah negara. Lalu, dikutip dari cnnindonesia.com menurut Bhima Yudhistira sebagai Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) mengatakan bahwa stagflasi ini jauh lebih berbahaya dan mengancam, karena adanya kenaikan harga barang tidak dibarengi dengan kenaikan sisi permintaan, jadi stagflasi lebih berisiko karena ditunjukkan oleh ketidaksinkronan antara output produksi dengan inflasi.

Jika melihat dari data dikutip dari investor.id bahwasannya data empiris menunjukkan bahwa sejak 2015, laju inflasi Indonesia tergolong rendah, di bawah 4% lalu ketika terjadi serangan Pandemi COVID-19 menyebar, inflasi Indonesia hanya berkisar 1,68%, kemudian tahun ini, hingga Oktober, inflasi tahunan juga baru 1,66% dan inflasi selama 10 bulan (year to date) hanya 0,93%. Pertumbuhan ekonomi Indonesia juga lumayan tinggi, meski tidak setinggi yang diperkirakan. Namun dalam arah pemulihan sudah berada di jalur yang tepat. Kunci utamaya memang pada keberhasilan pengendalian COVID-I9 yang menunjukkan penurunan secara cepat, serta Indonesia juga termasuk sukses dalam vaksinasi massif yang diapresiasi dunia. Tingkat pengangguran pun bisa dikendalikan, bahkan data terbaru September cenderung menurun. Dengan fakta dan realitas yang terjadi sehingga negara Indonesia bisa dikatakan tidak akan terjerumus dalam fenomena stagflasi.

Meski demikian, tetap ada sejumlah risiko yang harus diwaspadai terkait dengan potensi kenaikan inflasi. Pertama, inflasi atau kenaikan harga yang terjadi di negara-negara mitra dagang utama seperti AS, Tiongkok, dan Eropa juga bisa mendorong harga barang-barang impor menjadi lebih mahal. Kondisi tersebut akan memicu imported inflation. Kedua, imported inflation bisa menjadi lebih parah lagi menakala nilai tukar rupiah melemah, sebagai imbas dari potensi capital outflow yang dipicu oleh tapering off maupun isu rencana kenaikan suku bunga tahun depan oleh Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed). Depresiasi rupiah tersebut berakibat pada kenaikan biaya impor.

Selain tekanan inflasi yang bersumber dari eksternal, pemerintah dan otoritas terkait perlu mengantisipasi dorongan inflasi yang berasal dari dalam negeri. Pertama yaitu lonjakan permintaan pasca pemulihan ekonomi. Hal itu terjadi ketika permintaan adanya barang tahan lama, seperti otomotif. Saat permintaan meningkat, kapasitas produksi belum optimal karena sebelumnya ada pembatasan, sehingga produksi akan terganggu. Kedua inflasi yang dipicu oleh volatilitas harga pangan. Bahwa selama ini harga pangan sangat bergantung terhadap cuaca, jika adanya gangguan atau anomali cuaca maka akan berakibat terhadap kekacauan produksi pangan dan pertanian. Volatile food inilah yang sulit diduga, sehingga pemerintah harus mengontrol dan memonitor produksi dan distribusi, guna mencegah gangguan suplai. 

Ketiga, kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10% menjadi 11% yang berlaku mulai April 2022. Atas dasar itulah, pemerintah terutama kementrian atau lembaga yang berwenang mengawasi produksi dan distribusi harus dapat menjamin ketersediaan barang, agar tidak memicu inflasi serta juga harus tegas menindak para spekulan maupun mafia, terutama bahan pangan, yang seenaknya mempermainkan harga. Selain itu, pemerintah juga harus mampu mengendalikan harga barang-barang yang selain dijual di pasar domestik serta barang yang diekspor. Begitu juga adanya peran Bank Indonesia selaku pengendali kebijakan moneter tetep harus antisipatif untuk segera bertindak jika melihat ada tanda-tanda kenaikan inflasi.


Penulis : Fariz Adhica (Kader Forshei 2021)