Ekonomi Lesu, Mayarakat Kena Fenomena 'Lipstick Effect'
Indonesia saat ini tengah dilanda deflasi selama lima bulan berturut-turut, sebuah kondisi ekonomi yang penuh tantangan. Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat deflasi pada September 2024 tercatat sebesar 0,12%, yang merupakan level terendah dalam lima tahun terakhir. Dampak dari deflasi ini cukup terasa, dengan terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai sektor, kesulitan dalam mencari pekerjaan, serta kenaikan harga barang yang semakin mahal.
Namun, di tengah situasi tersebut, ada fenomena yang mencuri perhatian. Meskipun kondisi ekonomi sulit, tiket konser cepat habis terjual, kafe-kafe tetap ramai dengan pembeli, pembelian boneka Labubu dengan harga jutaan laris manis terjual. Hal ini menunjukkan adanya ketidakseimbangan antara situasi ekonomi yang sulit dengan perilaku konsumen yang tetap aktif dalam beberapa sektor. Dinamakan apakah fenomena ini?
Seorang Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin membenarkan bahwa fenomena ini disebut Lipstick Effect. Fenomena Lipstick Effect adalah fenomena ketika konsumen bersedia mengeluarkan uang untuk barang mewah hanya untuk kesenangan sesaat dalam kondisi ekonomi yang menurun. Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh CEO Estée Lauder, Leonard Lauder, yang mengamati bahwa meskipun krisis ekonomi terjadi, penjualan kosmetik seperti lipstik justru meningkat. Fenomena ini kini berlaku untuk berbagai sektor, termasuk penjualan boneka labubu, tiket konser, dan produk skincare, dan lain-lain.
Tak lain tak bukan FOMO (Fear of Missing Out) menjadi pemicu fenomena Lipstick Effect. Media sosial memainkan peran besar dalam menciptakan norma-norma gaya hidup yang seolah-olah harus diikuti oleh banyak orang. Contohnya fans fanatic yang mengikuti gaya hidup idolanya, “apa yang dia miliki aku harus miliki juga dengan cara apapun”.
Banyak individu yang terdorong untuk mempertahankan gaya hidup tertentu, bahkan sampai rela menggunakan paylater atau cicilan sebagai cara untuk mengikuti tren tersebut. Tak jarang, mereka juga mengorbankan dana darurat (tabungan) atau merencanakan ulang investasi jangka panjang mereka.
Tetapi pada penelitian bidang ekonomi perilaku menemukan bahwa belanja impulsif bisa menjadi cara mengurangi stres dan mencari kebahagiaan sementara di masa sulit. Tentu saja keadaan ini masih menjadi perdebatan dikalangan masyarakat. Imbauan moral deflasi “ayo berbelanja” yang seharusnya digunakan untuk membeli barang yang dibutuhkan malah kebalikannya membeli barang-barang tidak penting untuk kesenangan sesaat. Oleh karena itu, sebagai seorang agent of change kita harus bijak dalam mengelola keuangan sehingga dapat membantu pertumbuhan perekonomian di Indonesia.
Referensi:
https://soloaja.co/read/terungkap-ini-sebab-tiket-konser-dan-boneka-labubu-masih-jadi-incaran-meski-ekonomi-lesu
https://www.idxchannel.com/milenomic/apa-itu-lipstick-effect-mengenal-fenomena-spending-habit-di-tengah-penurunan-ekonomi