OJK Untuk Perbankan Syariah ?

Oleh: Bagas Chairil Anwar (Presiden forSHEI IAIN Walisongo Semarang)
Efek krisis moneter yang terjadi di tahun 1998 begitu besar bagi bangsa ini. Sebagai respon pembelajaran dari krisis tersebut, muncul gagasan membentuk lembaga pengawasan sistem keuangan yang teritegratif di semua sektor keuangan. Meski pada masa tersebut presiden B.J Habibi gencar merumuskan undang-undang tentang Independensi BI namun tetap dirasa perlu dibentuknya sebuah lembaga yang mempunyai otoritas independen teritegratif di semua sektor keuangan moneter. Melalui UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang BI, kemudian dimuat Pasal 34 ayat (1) yang menyebutkan bahwa tugas mengawasi bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen dan dibentuk dengan undang-undang.
Hal tersebut sedikit banyak menimbulkan pro kontra yang mencuat baik dikalangan akademisi, praktisi lebih-lebih lembaga pemerintahan. Beberapa diantaranya ada yang tidak setuju dengan RUU OJK dengan alasan ketika OJK sah berdiri maka akan semakin banyak lembaga yang mengatur dan pengambil kebijakan di sektor keuangan negara. Walaupun masing-masing lembaga tersebut sudah mempunyai tugas dan wewenang sendiri.
BI yang dahulu secara eksplisit bertugas secara penuh menangani tentang sektor perbankan dan moneter tanpa harus ada intervensi dari pihak lain. Namun Sekarang, dimulai sejak akhir 2013 sebagian besar kewenangan Bank Indonesia akan dialihkan ke lembaga OJK. Pasalnya, dalam UU OJK yang baru disahkan DPR, lembaga ini mengambil tugas dari bank indonesia yang tertera dalam UU No. 23 tahun 1999 pasal 7-8 akan beralih ke OJK kecuali poin pertama terkait dengan stabilitas moneter dan stabilitas nilai rupiah.
Hal tersebut di atas tertera dalam Bab III yang menjelaskan tentang Tujuan, Fungsi, Tugas, dan Wewenang OJK. Pasal 7 UU OJK menyatakan, untuk melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan, OJK mempunyai wewenang mengatur dan mengawasi kelembagaan bank yang meliputi perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran dasar, rencana kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya manusia, merger, konsolidasi dan akuisisi bank, pencabutan izin usaha bank serta penilaian tingkat kesehatan bank serta tidak menutup kemungkinan OJK akan menginjak pada sektor lembaga keuangan mikro.
Sekadar catatan, tanggung jawab pengaturan dan pengawasan dari BI sudah harus beralih ke OJK, setidaknya pada 31 Desember 2013 atau awal tahun 2014. Meski wewenangnya terpangkas, BI tetap dilibatkan dalam beberapa hal. Pasal 40 menyebutkan, dalam hal BI untuk melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya memerlukan pemeriksaan khusus terhadap bank tertentu, BI dapat melakukan pemeriksaan langsung terhadap bank tersebut dengan menyampaikan terlebih dahulu secara tertulis kepada OJK. Hanya saja dalam melaksanakan kegiatan pemeriksaan, BI tidak dapat memberikan penilaian terhadap tingkat kesehatan bank. Laporan hasil pemeriksaan bank tetap disampaikan kepada OJK paling lama satu bulan sejak diterbitkannya laporan hasil pemeriksaan.  
Bukan soal pengawasan dan pengaturan perbankan saja yang menjadi kewenangan OJK. Lembaga ini juga memiliki kewenangan pemeriksaan dan penyidikan sebagai alat kelengkapan sendiri. Untuk mendukung kewenangan penegakan hukum, selain pejabat penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, OJK memberi kewenangan khusus kepada pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pengawasan sektor jasa keuangan. Hanya saja OJK tidak memiliki wewenang penuntutan. Meski tidak memiliki wewenang penuntutan, namun hasil penyidikan wajib ditindaklanjuti oleh Kejaksaan paling lama 90 hari hari sejak diterimanya hasil penyidikan sesuai dengan Pasal 49.
Lalu dampak apa yang timbul bagi perbankan syariah setelah Otoritas Jasa Keuangan benar-benar beroperasi? Ketika kita mencoba menengok sejarah pada masa sahabat bahwa  konsep OJK selaras dengan apa yang dahulu diterapkan oleh kholifah Umar Bin Khatab yaitu dengan melakukan pengawasan di semua sektor termsuk pasar. Karena konsep OJK kurang lebih menggabungkan antara dua lembaga yang sebelumnya sudah ada dan dibedakan yaitu antara Bank Indonesia sebagai regulasi disektor moneter dan perbankan dan BAPEMPAM-LK pada sektor pasar modal dan modal jangka panjang. Untuk itu akan lebih efektif dalam hal pengawan dan pemberian regulasi.
Sejauh ini paling tidak praktisi perbankan syariah merasa terwakili dengan terpilihnya Muliaman D. Hadad sebagai ketua dewan komisioner OJK. Harapanya dengan adanya wakil dari figur yang berkiprah di ekonomi syariah akan membantu mempermudah OJK dalam memberikan regulasi kepada bank syariah.
Seperti halnya di Bank Indonesia bahwa akan ada devisi tersendiri yang mengawasi dan memberikan regulasi kepada perbankan syariah yang diharapkan ke depan OJK benar-benar akan memberikan regulasi yang benar-benar berpihak akan perkembangan lembaga keuangan syariah di Indonesia. Jadi secara ekspilisit perbankan syariah dan lembaga keuangan syariah yang lain akan mendapatkan porsi regulasi dari OJK. Dengan disatukanya model pengawasan dan dibentuknya devisi perbankan syariah pada OJK diharapkan akan membawa efek yang baik bagi pertumbuhan perbankan syariah di Indonesia.
Perbankan syariah tidak perlu khawatir dengan adanya OJK, mengingat pengaturan dan regulasi yang diberikan oleh OJK dan BI sedah jelas dengan pembagian tuggas dan wewenang masing-masing sesuai dengan porsinya.(Falah/Bgs)