Wakaf Uang, Potensi dan Permasalahan



Sektor publik merupakan bagian dari sektor ekonomi dalam bentuk institusi pemerintahan. Dalam Islam, keuangan publik bersifat Rahmatan lil Alamin, artinya tidak membedakan antara umat yang satu dengan umat yang lain. Keuangan publik dalam Islam haruslah menerapkan prinsip bebas bunga (riba), spekulasi (maysir), dan juga ketidakpastian (gharar). Dalam keuangan publik, pemerintah ataupun negara memiliki andil yang sangat besar terhadap kesejahteraan masyarakat. Pemerintah juga berkewajiban untuk memastikan ketersediaan barang dan jasa serta layanan publik lainnya.

Wakaf merupakan salah satu instrumen keuangan publik yang nantinya dapat digunakan sebagai sarana untuk mencapai kesejahteraan umat suatu negara. Dalam wakaf, setidaknya mencakup dua dimensi sekaligus, yaitu: vertikal, yang disebut juga dimensi ketaqwaan kepada Allah hubungan manusia dengan tuhan (Allah) dan horizontal, yaitu berbagi kesejahteraan kepada sesama manusia (hubungan manusia dengan sesama manusia). Berbeda halnya dengan zakat, dalam wakaf tidak dibatasi oleh nisab dan haul sehingga sangat dimungkinkan bahwa wakaf dapat dijadikan sebagai instrumen utama dalam keuangan publik Islam. Apalagi melihat bahwa saat ini wakaf bukan hanya berpacu pada harta benda saja, tetapi dapat berupa wakaf uang/tunai yang kadarnya tidak ditentukan. Meskipun untuk mendapatkan sertifikat wakaf, haruslah ada batas minimum uang yang diserahkan untuk berwakaf.

Dewasa ini, wakaf masih banyak dipahami hanya sebatas ibadah yang sifatnya vertikal yang hanya terkait hubungan amal seseorang kepada penciptanya. Padahal dalam Islam Allah tidak menjadikan sebuah hukum yang timpang kemaslahatan dunia dan akhirat. Wakaf ternyata mengandung dimensi sosial yang diprioritaskan. Dari sudut pandang inilah, kiranya diperlukan interpretasi masyarakat muslim terkait konsep wakaf. Sebenarnya potensi besar dan modal berharga kaum muslimin untuk membentuk kesejahteraan masyarakat berada salah satunya dalam wakaf (Muhtar, 2015).

Wakaf secara estimologi adalah al-habs (menahan). Ia merupakan kata yang berbentuk masdar dari ungkapan waqfu al-syai’ yang pada dasarnya berarti menahan sesuatu (Arif, 2010). Pengertian wakaf dalam undang-undang diartikan sebagai perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah (Undang-undang No. 41 Tahun 2004, Pasal 1 Ayat 1). Dasar hukum wakaf, salah satunya dapat ditemukan dalam Q.S. Ali Imran: 92, yang berisi tentang anjuran untuk menginfakkan harta untuk memperoleh pahala dan kebajikan. Bahkan dikatakan bahwa manusia tidak akan mencapai kebaikan yang sempurna sebelum mereka menafkahkan sebagian dari hartanya.

Wakaf uang sudah mulai dipraktikkan sejak awal abad kedua Hijriyah, tetapi kepopuleran wakaf uang itu sendiri ada sejak munculnya gagasan M.A. Mannan melalui pembentukan Sosial Investment Bank Limited (SIBL) di Bangladesh yang dikemas dalam mekanisme instrumen Cash Waqf Certificate atau sertifikat wakaf uang (Kasdi, 2014). Bukti keberhasilan wakaf uang itu sendiri yaitu Universitas Al-Azhar di Kairo, disana wakaf bukan hanya berupa wakaf tanah, gedung, dan lahan pertanian, tetapi juga wakaf uang. Dengan wakaf yang besar itu, Al-Azhar mampu membantu perekonomian negara dengan membantu menutup defisit anggaran, bahkan mampu membiayai operasional pendidikannya selama berabad-abad tanpa bergantung pada pemerintah. Bahkan Al-Azhar mampu memberikan beasiswa kepada ribuan orang.

Indonesia sebagai negara dengan populasi masyarakat muslim terbesar di dunia memiliki potensi wakaf uang yang besar, namun sayangnya hal ini belum dikembangkan secara optimal. Selama ini, pendistribusian dana wakaf di Indonesia masih tertuju pada sesuatu atau program yang kurang mengarah pada pemberdayaan ekonomi umat, hanya sebatas untuk kegiatan ibadah, pendidikan, kesehatan, dan kurang mengarah pada pengelolaan wakaf produktif. Sedangkan di negara lain seperti Mesir dan Malaysia, wakaf telah dikelola secara profesional dan dikembangkan sebagai salah satu lembaga sosial yang dapat membantu beberapa kegiatan umat dan membantu mengatasi kemiskinan.

Penerimaan wakaf uang di Badan Wakaf Indonesi (BWI) saat ini masihlah jauh dari perhitungan besarnya potensi wakaf uang yang seharusnya dapat tehimpun di Indonesia (Medias, 2017). Jika diasumsikan bahwa masyarakat berpenghasilan Rp. 500.000 sebanyak 4 juta jiwa mengeluarkan wakaf sebesar Rp. 5000 perbulan, masyarakat berpenghasilan 1-2 juta sebanyak 3 juta jiwa mengeluarkan wakaf sebesar Rp. 10.000, masyarakat berpenghasilan 2-5 juta sebanyak 2 juta jiwa mengeluarkan wakaf sebesar Rp. 50.000, dan masyarakat berpenghasilan 5-10 juta sebanyak 1 juta jiwa mengeluarkan wakaf sebesar Rp. 100.000. maka dalam setahun dana wakaf akan terkumpul sebesar 3 Triliun (Nasution, 2005). Hal ini sangat kontras dengan terkumpulnya dana zakat pada tahun 2013 yang hanya mencapai 3 Milyar saja.

Beberapa hal yang menjadi permasalahannya antara lain dikarenakan wewenang BWI yang terlalu banyak seperti pengawasan, pengelolaan, regulasi, sosialisasi bahkan penyaluran hasil wakaf tunai. Hal ini mengakibatkan, BWI kurang maksimal dalam menjalankan tugasnya. Selain itu, banyaknya pihak yang terkait dalam pengelolaan wakaf uang (LKS, BWI, dan Nadzir) mengakibatkan mekanisme berwakaf terkesan lama dan rumit.

Selain permasalahan dari sektor BWI, hal yang menyebabkan kurang optimalnya dana wakaf yang terkumpul yaitu: a). Para nadzir wakaf selama ini memiliki pemikiran yang tradisional dalam mengembangkan wakaf. b). Masih banyak umat muslim yang kurang memahami wakaf. c). Banyaknya konflik yang timbul karena meninggalnya nadzir dan anak wakif meminta harta wakaf orangtuanya karena tidak adanya sertifikat wakaf. d). Minimnya kegiatan yang diarahkan untuk mengedukasi dan mensosialisasikan paradigma baru wakaf uang dalam masyarakat muslim.

Solusi atas beberapa masalah tersebut yaitu, masyarakat lebih diberikan pemahaman yang lebih mendalam mengenai syariat wakaf, sosialisasi wakaf mulai dari pendidikan menengah (SMP) sampai pendidikan tertinggi bahkan kepada masyrakat yang tidak bersekolah, harta wakaf diarahkan untuk investasi melalui instrumen sukuk dan pasar modal dengan mekanisme dikelola berdasarkan prinsip mudharabah (bagi hasil) yang mana keuntungan yang didapatkan  nantinya akan didistribusikan untuk kemaslahatan dan kesejahteraan umat, harta wakaf haruslah diatur dengan baik dan diserahkan kepada pengelola yang profesional yang kemudian diinvestasikan di sektor yang produktif.


Penulis
(kader forshei 2016)