Asuransi Syariah, Masyarakat Canggung


Penduduk Indonesia masih minim minat asuransi. Seperti yang dikutip kompas pada 17/11/ 2018, menyatakan bahwa masyarakat Indonesia pada tahun 2018 mencapai lebih dari 265 juta jiwa. Akan tetapi dari banyaknya penduduk hanya 1,7 persen masyarakat yang telah menggunakan asuransi.

Dari perkembangan asuransi syariah saat ini, bahwa masih tergolong minim pengetahuan masyarakat  tentang asuransi syariah, terlebih masyarakat desa. Padahal dalam sosialisasinya, asuransi syariah menjujung tinggi bentuk tolong menolong.

Asuransi syariah dalam sistem kerjanya berjalan dengan akad mudharabah/ tijarah serta akad tabarru’/ hibah. Dalam pengenalanya terhadap masyarakat memang masih mengalami kendala, seperti kurang percayanya masyarakat mengenai haram/halalnya sistem asuransi tersebut, gaya pemikiran ndeso juga berpengaruh dalam perkembangan pengetahuan asuransi.

Selain faktor yang telah dipaparkan, penduduk desa sebelum mengetahui cara kerja sistem asuransi syariah, mereka lebih dahulu paham tentang banyaknya cerita bahwa perusahan asuransi tidak mengindahkan klaim nasabah, padahal hal seperti ini tidak bisa diputusi secara sepihak. Misalnya, perusahan asuransi tidak merespon klaim karena nasabah yang tidak memenuhi persyaratn dalam membeli polis sehingga pihak perusahan menonaktifkannya, atau juga tidak samanya tanda tangan seseorang yang mengajukan klaim dengan data pengajuan pada saat pendaftaran.

Tidak sedikit juga dari ulama lain memberikan cap haram terhadap asuransi. Alasanya asuransi tidak jelas cara pengelolaan uangnya, dan hal inilah yang mereka sebut praktik riba. Ulama yang berpendapat demikan yaitu, Sayyid Sabiiq (pengarang Fiqh as-Sunnah), Abdullah al-Qalqili (Mufti Yordan), Muhammad Yusuf Qordawi (pengarang al-Halal wa al-Haram fi al-Islam), dan lain-lain.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menghalalkan asuransi syariah, terlihat dalam fatwanya NO.21/DSN-MUI/X/2001 menjelaskan bahwa, “Asuransi syariah (ta’min, takful atau tadhamun) adalah usaha saling melindungi dan tolong-menolong diantara sejumlah orang/ pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan/ tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah.” Bahwasannya MUI telah mempertimbangkan sebaik mungkin untuk mengeluarkan sebuah fatwa untuk kebolehan asuransi syariah. Dengan adanya fatwa ini, harus menjadikan kita yakin bahwa asuransi syariah boleh digunakan oleh umat Islam bahkan masyarakat luas.

Alangkah baiknya jika sebelum memutuskan untuk membeli polis asuransi, pertimbangkan hal-hal yang ingin diambil manfaat, pendaftaran beserta syarat-syaratnya. Dan juga pihak pemerintah sendiri turut menyadarkan bahwa asuransi sendiri itu penting, mengingat musibah-musibah datangnya tidak bisa diduga.

Adapun ayat tentang asuransi adalah Surat Luqman ayat 34, yang berbunyi:

إِنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْأَرْحَامِ ۖ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا ۖ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

“Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dialah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Sumber gambar : Polismart.id

Penulis
Nur Abidin
(Kader forshei 2018)