Satuan Tugas (Satgas) Waspada Investasi merilis perkiraan data kerugian akibat praktik investasi “bodong” selama periode 2007-2017 mencapai Rp 105,81 triliun dan disebutkan modus yang paling banyak muncul adalah Multi Level Marketing (MLM) seperti yang dilansir oleh katadata.co.id. Pada bulan April 2019, Satgas Waspada Investasi telah menghentikan 120 entitas penawar investasi ilegal atau bodong. OJK menemukan 30% dari total investasi ilegal yang sudah dihentikan tersebut adalah investasi berbentuk Multi Level Marketing (MLM). Kasus Multi Level Marketing juga terus meningkat seiring mudahnya akses teknologi untuk menawarkan investasi ilegal di website bahkan aplikasi. Hal ini ditandai dengan OJK yang menghentikan 80 investasi ilegal pada tahun 2017, 108 investasi ilegal dan 404 fintech ilegal pada tahun 2018, dan 399 fintech ilegal dan 47 investasi ilegal pada tahun 2019 seperti yang dilansir oleh CNBC Indonesia.com pada bulan April 2019.
Hal ini membuktikan maraknya investasi ilegal yang berkedok MLM saat ini. Kasus yang paling tren adalah dengan tipuan piramid dimana para anggota diwajibkan untuk menyetor dana investasi/pembelian suatu produk sekaligus diwajibkan merekrut anggota-anggota baru dengan di iming-imingi bonus yang besar.
Sebenarnya, apa itu Multi Level Marketing? Multi Level Marketing atau MLM adalah suatu metode bisnis alternatif yang berhubungan dengan pemasaran dan distribusi yang dilakukan melalui banyak level (tingkatan), yang biasa dikenal dengan istilah Upline (tingkat atas) dan Downline (tingkat bawah), orang akan disebut Upline jika mempunyai Downline. Dalam bisnis MLM, makelar atau perantara untuk menjalankan suatu usaha sangat penting demi memperlancar keluarnya barang dan mendatangkan keuntungan antara kedua belah pihak. Tidak ada salahnya ketika makelar itu mendapatkan upah kontan berupa uang atau prosentase keuntungan sesuai kesepakatan. Ibnu Sirrin berkata: apabila pedagang berkata kepada makelar, “Jualkanlah barangku ini dengan harga sekian, sedang keuntungannya untuk kamu.” Atau ia berkata: “keuntungannya bagi dua”. Maka hal tersebut tidak dianggap berdosa. Sebab Rasulullah SAW juga pernah bersabda,
المسلمون على شروطهم
Artinya: “Orang islam itu tergantung pada syarat (perjanjian) mereka sendiri.” (Riwayat Ahmad, Abu Daud, Hakim).Semua bisnis yang menggunakan sistem MLM dalam literatur syari’ah Islam pada dasarnya termasuk kategori muamalah yang dibahas dalam bab al-Buyu’ (jual beli):
ﺍﻷﺻﻞ ﻓﻰ ﺍﻷﺷﻴﺎء ﺍﻹﺑﺎﺣﺔ ﺣﺘﻰ ﻳﺪﻝ ﺍﻟﺪﻟﻴﻞ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺘﺤﺮﻳﻢ
Artinya: “Hukum asal dalam masalah-masalah (muamalah) adalah boleh, kecuali ada dalil hukum yang mengharamkannya”.
Hukum Islam sangat memahami dan menyadari karakteristik muamalah dan bahwa perkembangan sistem serta budaya bisnis akan selalu berubah secara dinamis. Oleh karena itu berdasarkan kaedah fiqh di atas, maka terlihat bahwa Islam memberikan jalan bagi manusia untuk melakukan berbagai improvisasi dan inovasi melalui sistem, teknik dan mediasi dalam melakukan perdagangan.
Beberapa dari ayat Alquran dan Hadis Nabi dapat dikemukakan, di antaranya ialah firman Allah swt:
واحل الله البيع وحرم الر با
Artinya: “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (QS Al Baqarah: 275)
وتعاونوا على البر وااتقوى ولا تعاونواعلى الاثم والعدوان
Artinya: “Tolong menolonglah atas kebaikan dan taqwa dan jangan tolong menolong atas dosa dan permusuhan”. (QS Al Maidah: 2)
Rasulullah saw bersabda:
انما البيع عن تراض
Artinya: “Perdagangan itu atas dasar sama-sama rela”. (HR al-Baihaqi dan Ibnu Majah)
Berdasarkan ayat Al-Qur’an dan Hadis di atas dapat diketahui bahwa Islam mempunyai prinsip-prinsip tentang pengembangan sistem bisnis yaitu harus terbebas dari unsur dharar (bahaya), jahalah (ketidakjelasan) dan zhulm (merugikan atau tidak adil terhadap salah satu pihak). Oleh karena itu, sistem pemberian bonus harus adil, tidak menzalimi dan tidak hanya menguntungkan orang yang di atas. Sebagian pakar ekonomi Islam membuat istilah bawa bisnis yang islami harus terbebas dari unsur MAGHRIB, singkatan dari lima unsur yaitu : (1) maysir (judi), (2) gharar (penipuan), (3) haram, (4) riba (bunga) dan (5) batil.
Artinya, dalam melakukan metode bisnis MLM harus memperhatikan unsur-unsur MAGHRIB. Selain itu, barang atau jasa yang ditawarkan adalah halal, jelas adanya, dan sesuai dengan prinsip-prinsip syari’ah seperti di atas.
Sejatinya MLM yang menggunakan strategi pemasaran secara bertingkat (levelisasi) mengandung unsur-unsur positif, asalkan diisi dengan ruh syari’ah dan sistemnya disesuaikan dengan syari’ah Islam. Bila demikian, MLM dipandang memiliki unsur-unsur silaturrahmi, dakwah dan tarbiyah. Menurut Muhammad Hidayat, Dewan syari’ah MUI Pusat, metode semacam ini pernah digunakan Rasulullah dalam melakukan dakwah Islamiyah pada awal-awal Islam. Dakwah Islam pada saat itu dilakukan melalui teori gethok tular (mulut ke mulut) dari sahabat satu ke sahabat lainnya. Sehingga pada suatu ketika Islam dapat di terima oleh masyarakat kebanyakan.
Bisnis yang dijalankan dengan sistem MLM tidak hanya sekedar menjalankan penjualan produk barang, tetapi juga jasa, yaitu jasa marketing yang berlevel-level (bertingkat-tingkat) dengan imbalan berupa marketing fee, bonus, hadiah dan sebagainya, tergantung prestasi, dan level seorang anggota. Jasa marketing yang bertindak sebagai perantara antara produsen dan konsumen. Dalam istilah fikih Islam hal ini disebut Samsarah / Simsar. Samsarah dalam bentuk distributor, agen, member atau mitra niaga dalam fikih Islam termasuk dalam akad ijarah. yaitu suatu transaksi memanfaatkan jasa orang lain dengan imbalan, insentif atau bonus (ujrah) Semua ulama membolehkan akad seperti ini.
Dalam hal ini, MLM menggunakan metode-metode Samsarah dan akad ijarah tersebut. Dalam perkembangannya, kasus negatif MLM yang timbul di masyarakat diakibatkan adanya kewajiban modal awal anggota untuk menanamkan modal dalam bentuk pembelian suatu produk yang di tawarkan. Selain itu, mereka dituntut tetap merekrut anggota baru dengan iming-iming bonus yang besar seiring banyaknya anggota baru yang berhasil direkrut. MLM dalam kasus ini menggunakan dua akad sekaligus atau dalam muamalah biasa disebut “aqdain fi ‘aqd atau “shafqatain bi shafqah” yaitu ketika si anggota baru bergabung sebagai pembeli dan penjual sekaligus, Rasulullah melarang hal ini, dari Abu Hurairah:
نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن بيعتين في بيعة (رواه احمد والنسائ)
Artinya: “Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam telah melarang dua pembelian dalam satu pembelian”. ( HR Ahmad dan Nasai )
Imam Syafi’i rahimahullah berkata tentang hadist ini, sebagaimana dinukil Imam Tirmidzi, yaitu jika seseorang mengatakan, “Aku menjual rumahku kepadamu dengan harga sekian dengan syarat kamu harus menjual budakmu kepadaku dengan harga sekian. Jika budakmu sudah menjadi milikku berarti rumahku juga menjadi milikmu”. Kesimpulannya bahwa melakukan dua macam akad dalam satu transaksi yang mengikat satu dengan yang lainnya adalah haram berdasarkan hadis di atas.
Di dalam kasus MLM terdapat hal-hal yang bertentangan dengan kaidah umum jual beli, seperti kaidah: Al Ghunmu bi al Ghurmi, yang artinya bahwa keuntungan itu sesuai dengan tenaga yang dikeluarkan atau resiko yang dihadapinya. Di dalam MLM ada pihak-pihak yang paling dirugikan yaitu mereka yang berada di level-level paling bawah, karena merekalah yang sebenarnya bekerja keras untuk merekrut anggota baru, tetapi keuntungannya yang menikmati adalah orang-orang yang berada pada level atas.
Kesimpulannya, Multi Level Marketing (MLM) sebenarnya adalah wadah bisnis yang sangat positif, bahkan bisnis sukses di Amerika pun banyak menggunakan sistem ini. Namun dalam perkembangannya ditemukan kasus-kasus negatif dari MLM di Indonesia. Hal ini dikarenakan tidak sesuainya antara metode-metode MLM yang digunakan dengan Hukum Islam yang telah membahas mengenai hal itu.
Pertama, Islam telah melarang hal-hal jual beli yang menggunakan dua akad sekaligus. Dimana, dalam kasus MLM anggota baru diharuskan menanamkan modal dengan melakukan pembelian produk dan merekrut anggota baru. Hal ini mengakibatkan seorang anggota memiliki dua posisi sekaligus yaitu sebagai pembeli, yang membeli produk dan sebagai makelar, yang merekrut anggota baru.
Kedua, Islam telah melarang hal-hal yang bertentangan kaidah jual beli, seperti kaidah Al Ghunmu bi Al Ghurmi, dimana keuntungan itu sesuai dengan usaha atau tenaga yang dikeluarkan, minimal dengan menanamkan modal awal. Dalam melakukan MLM juga harus fokus pada menjualkan atau kegiatan pada pemasaran produk bukan banyaknya perekrutan anggota untuk membantu mendapatkan uang dengan pembelian produk yang akan menyebabkan terjadinya money game.
Ketiga, dalam melakukan MLM haruslah benar-benar sesuai dengan prinsip-prinsip tentang pengembangan sistem bisnis yaitu harus terbebas dari unsur dharar (bahaya), jahalah (ketidakjelasan) dan zhulm (merugikan atau tidak adil terhadap salah satu pihak). Oleh karena itu, sistem pemberian bonus harus adil, tidak menzalimi dan tidak hanya menguntungkan orang yang di atas. Sebagian pakar ekonomi Islam membuat istilah bawa bisnis yang islami harus terbebas dari unsur MAGHRIB, singkatan dari lima unsur yaitu : (1) maysir (judi), (2) gharar (penipuan), (3) haram, (4) riba (bunga) dan (5) batil.
Hukum Islam tersebut dapat dijadikan solusi kasus-kasus MLM yang sedang marak terjadi, dimana masyarakat dapat menerapkan standar-standar hukum islam dalam memilah bisnis MLM yang baik. Yaitu, bisnis MLM yang tidak mengharuskan anggota baru untuk membeli produk-produknya sebagai syarat awal dengan iming-iming bonus yang belum jelas keberadaannya dan bisnis MLM yang fokus pada penjualan dan pemasaran produk yang artinya produk yang ditawarkan adalah halal dan jelas (tidak spekulatif) bukan fokus pada mendapatkan uang seperti pada kasus-kasus saat ini.
Penulis
Salsabila Dhiya Alriye
(Kader forhsei 2019)
Daftar Pustaka :
https://www.cnbcindonesia.com/tech/20190405132936-37-64871/ojk-30-investasi-bodong-berbentuk-multi-level-marketingSahlan.Ahmad, 2016, Bisnis Multi Level Marketing (MLM), Jurnal STIE ASS.
Baharrudin.Mohammad, 2011, Multi Level Marketing (MLM) dalam Perspektif Hukum Islam, Jurnal media.niliti.com.
Marsalis.Ahmad dkk, 2016, Multi Level Marketing (MLM) Perspektif Ekonomi Islam, Ejournal UMM.