Jangan Bangga Jadi Orang yang Sok Sibuk



Ketika menjalani kehidupan yang kompleks ini, kalian pasti pernah berhadapan dengan orang-orang yang sukanya pamer. Dan itu sangat menyebalkan. Bila jaman dahulu pamer diidentikkan dengan mempertontonkan prestasi, kepemilikan material ataupun pencapaian. Sekarang aktivitas pamer telah bertransformasi menjadi beberapa bentuk baru yang tidak kalah menyebalkan. Salah satu model pamer yang menurut saya sebagai sebuah toxic adalah pamer kesibukan. 

Bermula dari berkembangnya sebuah filosofi yang berbunyi bahwa hidup itu harus berlari, karena waktu berputar begitu cepat dan bla bla bla. Kemudian ditambah lagi dengan kegilaan eksistensi yang merasuk pada sanubari, membuat orang-orang terlihat begitu bersemangat berlomba-lomba dalam kesibukan dan dengan bangga menunjukannya di media sosial.

Saya sering melihat orang-orang yang memposting bahwa mereka sedang lembur sampai malam lah, weekend tetap masuk kerjalah, bercerita kalau cuma tidur sekian jam sehari lah, atau mengupload foto kerjaanya dengan caption yang intinya menggambarkan betapa sibuknya mereka karena harus multitasking dengan pekerjaan yang bertumpuk. 

Yah sekilas mereka seperti menunjukkan penderitaan, tapi yah to the point ajalah, padahal intinya mereka pamer, mereka menselebrasikan kesibukan itu dan merasa lebih keren dengan kesibukan mereka, karena jaman sekarang stereotip yang berkembang adalah mereka yang sibuk sama dengan produktif, jika produktif maka lebih cepat meraih kesuksesan daripada mereka yang rebahan. Sering  saya mendengar para entrepreneur, atau public figure yang bercerita bahwa istirahat lebih sedikit itu tandanya kamu lebih dekat dengan kesuksesan. 

Padahal produktivitas sendiri adalah perihal efisiensi aktivitas kita dalam menghasilkan sesuatu, bukan mengurangi waktu istirahat. Percuma jika mengeksploitasi diri sedemikan rupa dengan bekerja, tapi pekerjaan yang dilakukan banyak yang multitasking. Akibatnya, hasil pekerjaannya jadi tidak maksimal.

Fenomena kebanggaan atas kesibukan ini sebenarnya sudah saya perhatikan sejak lama, cuma belum ketemu istilah secara sosial ilmiah. Sehingga fenomena ini pun terpendam begitu saja dan terus-menerus saya abaikan, meskipun di satu sisi saya begitu terganggu. 

Sampai akhirnya saya menonton konten beropini milik Gita Savitri yang menjulidkan ini secara gamblang dengan istilah "Hustle Culture". Dan yesss, Akhirnya ada istilah valid yang menggambarkan prilaku aneh orang-orang sok sibuk itu. Untuk videonya bisa kalian tonton di sini

Dalam video yang berjudul "Everything Wrong with Hustle Culture". Mbak Gita secara sederhana menjelaskan bahwa hustle culture sendiri merupakan sebuah gaya hidup yang isinya kerja terus, sibuk terus, di mana pun dan kapan pun. Intinya Hustle Culture ini budaya membanggakan kesibukan dan dijadikan patokan untuk meraih kesuksesan. 

Ada 2 poin yang saya garis bawahi dari video Mbak Gita, yang menurut saya releted dan jadi alasan kenapa hustle culture itu hanya budaya toxic. Poin Pertama adalah potensi terganggunya kesehatan fisik, mental maupun sosial. Ketika mereka hanyut ke dalam budaya over work alias hustle culture ini. Secara fisik, kesehatan mereka akan terganggu, karena tubuh mereka dipaksa untuk terus bekerja dengan waktu istirahat yang minim. Bahkan sering saya temui ada orang-orang di sekitar saya yang masih mikirin pekerjaan meski sedang liburan. Penyakit berbahaya seperti hipertensi dan serangan jantung berpotensi menghantui tubuh mereka.

Selain itu, secara mental, hustle culture ini memaksa mereka hidup dalam bayang-bayang tekanan pekerjaan. Bayang-bayang mantan saja sudah membuat tidur tidak nyenyak, apalagi bayang-bayang pekerjaan. Hal ini akan menyebabkan kualitas hidup mereka terganggu dan akhirnya berimbas pada kehidupan mereka di ranah sosial.

Lihat aja bagaimana kondisi Kompleks perumahan di desa saya yang berisi orang-orang sibuk itu terlihat begitu sepi tanpa kehidupan sosial. Tenaga, waktu, dan kesehatan mereka sudah dikuras habis oleh pekerjaan, sehingga aktivitas sekadar bincang-bincang pun bagi mereka tak berguna.

Poin kedua adalah neoliberalisme terselubung. Perilaku hustle culture yang dipertontonkan saat ini, sedikit banyak disebabkan faktor keinginan yang overload. Mereka bekerja keras demi pencapain material. Demi uang, rumah, mobil dan banyak lagi barang-barang komplementer yang mempengaruhi sudut pandang mereka. Terutama kalangan milenial yang "basic needs"nya mengalami pergeseran. Dasar kebutuhan yang awalnya diperoleh untuk menunjang keberlangsungan hidup, bergerak ke arah pemenuhan gaya hidup. 

Hal ini juga ditambah dengan fakta sosial yang saat ini menuntut setiap individu untuk berkompetisi. Berkompetisi tentang materi, karir, pencapaian dan gaya hidup.

Perilaku konsumerisme seperti ini tentunya dijadikan kesempatan emas bagi orang - orang kelas atas. Para kelas atas mengeksploitasi mereka dengan pekerjaan-pekerjaan overload dengan iming-iming gaji yang tinggi, tunjangan dan karir. Tapi kenyataannya mereka sama sekali tidak punya waktu untuk menikmati itu. Dan tanpa sadar mereka telah terjebak pada neoliberalisme sistemik yang mengeksploitasi mereka. 

Pada akhirnya kehidupan slow kaum rebahan lebih punya kemerdekaan dari pada mereka yang sok sibuk. Karena hidup yang hanya berisi tuntutan, deadline, hingga target yang harus dipenuhi membuat seseorang lebih individualistik. 

Untuk mengakhiri tulisan ini, saya ingin mengutip salah satu konsep hidup minimalis dari buku “Slow by Greatmind Indonesia”. Konsep itu disebut sebagai slow living. Sebuah konsep yang menjelaskan bahwa kita perlu fokus menikmati setiap waktu yang dijalani, dan merasakan momen-momen yang tercipta.

Sumber gambar : vocal.media

 Penulis:
Muhamad Iqbal Haqiqi M
Pecinta nasi goreng