PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM (MUHAMMAD BIN AL HASAN ASY-SYAIBANI, YAHYA BIN UMAR, AHMAD BIN HAMBAL, HARITH BIN ASAD AL MUHASIBI)

A.     Muhammad bin Al Hasan Asy syaibani
        Abu Abdillah Muhammad bin Al-Hasan bin Farqad al-Syaibani lahir pada tahun 132 H (750 M) di kota Wasith, ibukota Irak pada masa akhir pemerintahan Bani Umayyah. Ayahnya berasal dari negeri Syaiban di wilayah Jazirah Arab. Bersama orang tuanya, Al Syaibani pindah ke kota Kufah yang ketika itu merupakan salah satu pusat kegiatan ilmiah. Di kota tersebut ia belajar fiqh, sastra, bahasa, dan hadis kepada para ulama setempat, seperti Mus’ar bin Kadam, Sufyan Tsauri, Umar bin Dzar, dan Malik bin Maghul. Pada saat berusia 14 tahun berguru kepada Abu Hanifah selama 4 tahun, yakni sampai Abu Hanifa meninggal dunia.

Berikut ini adalah  pemikiran-pemikiran ekonomi yang beliau cetuskan yakni :

1.      Al-Kasb (Kerja)
Al Syaibani mendefinisikan al kasb (kerja) sebagai cara memcari perolehan harta melalui berbagai cara yang halal. Dalam ilmu ekonomi, aktivitas tersebut dikenal sebagai aktivitas produksi. Dari definisi yang ada pada awal paragraf terlihat bahwa ada perbedaan yang sangat mendasar antara ekonomi Islam dan ekonomi konvensional. Dimana pada konvensional segala aspek produksi baik itu yang halal maupun yang haram dibolehkan, sedangkan dalam ekonomi islam aspek produksi hanya berkutat pada yang halal saja. Ini merupakan perbedaan yang sangat fundamental sekali karena ekonomi islam sangat menjunjung aspek kehalalan dari semua segi baik itu sumber, cara maupun hasilnya
2.      Kekayaan dan kefakiran
Menurut Al-Syaibani, sekalipun banyak dalil yang menunjukkan keutamaan sifat-sifat kaya, sifat-sifat fakir mempunyai kedudukan yang lebih tinggi. Ia menyatakan bahwa bahwa apabila manusia telah merasa cukup dari apa yang dibutuhkan kemudian bergegas pada kebajikan, sehingga mencurahkan perhatian pada urusan akhiratnya, adalah lebih baik bagi mereka. Dalam konteks ini, sifat-sifat fakir diartikannya sebagai kondisi cukup (kifayah), bukan kondisi papa dan meminta-minta (kafafah).  Dengan demikian, pada dasarnya Al Syaibani menyerukan agar manusia hidup dalam kecukupan, baik untuk dirinya sendiri maupun keluarganya.
3.      Klasifikasi Usaha-Usaha Perekonomian
Menurut Al-Syaibani, usaha-usaha perekonomian terbagi atas empat macam, yaitu sewa menyewa, perdagangan, pertanian, dan perindustrian. Sedangkan para ekonom kontemporer membagi menjadi tiga bagian, yaitu pertanian, perindustrian, dan jasa. Jika ditelaah lebih dalam maka usaha juga meliputi kedalam perdagangan
4.      Kebutuhan-Kebutuhan Ekonomi
Al Syaibani mengatakan bahwa sesungguhnya Allah menciptakan anak-anak Adam sebagai suatu ciptaan yang tubuhnya tidak akan berdiri kecuali dalam empat perkara, yaitu makan, minum, pakaian, dan tempat tinggal.  Para ekonom yang lain mengatakan bahwa keempat hal ini adalah tema ilmu ekonomi.
5.      Spesialisasi dan Distribusi Pekerjaan
Syaibani menyatakan bahwa manusia dalam hidupnya selalu membutuhkan yang lain. Seseorang tidak akan menguasai pengetahuan semua hal yang dibutuhkan sepanjang hidupnya dan kalaupun manusia berusaha keras, usia akan membatasi dirinya. Dalam hal ini, kemaslahatan hidup manusia sangat tergantung pada dirinya.

 

B.     Yahya Bin Umar
Ulama bernama lengkap Abu Bakar Yahya bin Umar bin Yusuf Al-Kananni Al-Andalusi ini lahir pada tahun 213 H dan dibesarkan di Kordova, Spanyol. Setelah Ibnu ’Abdun turun  dari jabatanya, Ibrahim bin Ahmad Al-Aglabi menawarkan jabatan qadi kepada Yahya bin  Umar. Namun ia menolaknya dan memilih tetap tinggal di Susah serta mangajar di Jami’ Al- Sabt hingga akhir hayatnya. Yahya bin Umar wafat pada tahun 289 H (901 M).
Pemikiran ekonomi islam menurut Yahya bin Umar adalah tentang aktivitas ekonomi . Berkaitan dengan hal ini, Yahya bin Umar  berpendapat bahwa al-tas’ir (penetapan harga) tidak boleh dilakukan. Ia berhujjah dengan  berbagai hadis Nabi Muhammad Saw. Jika kita mencermati konteks hadis tersebut, tampak  jelas bahwa Yahya ibn Umar melarang kebijakan penetapan harga jika kenaikan harga yang terjadi adalah samata-mata hasil interaksi penawaran dan permintaan yang alami.

C.     Ahmad Bin Hambal
Lahir pada 20 Rabiul awal 164 Hijriah atau 27 November 780 Masehi, di Marw (saat ini bernama Mary di Turkmenistan, utara Afganistan dan utaraIran), kota Baghdad, Irak. Ia bernama lengkap Ahmad bin Muhammad bin Hambal bin Hilal bin Asad Al Marwazi Al Baghdadi/ Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, atau dikenal khalayak luas sebagai Imam Hambali. Wafat pada 12 Rabiul Awal 241 Hijriah atau 4 Agustus 855 Masehi, Ahmad bin Hanbal adalah seorang ahli hadits dan teologi Islam.
Pemikiran ekonomi islam pandangan Ahmad bin Hanbal mewakili pendekatan Islam dalam memenangkan persaingan yang adil di dalam pasar. Ia mencela seorang penjual yang menurunkan harga barang untuk mencegah orang lain membeli barang yang sama pada pesaingnya.
Seorang penjual yang menurunkan harga akan memonopoli komoditi tersebut dan jika persaingan sudah tidak ada, dia bisa mengatur harga sesukanya. Sehingga penguasa harus lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan. Pemikiran lainnya yaitu mengakui kebebasan maksimal dalam kontrak dan perusahaan. Ia membolehkan syarat-syarat ke dalam kontrak-kontrak yang mana sekolah hukum Islam lainnya pada masa itu tidak mengijinkan.
D.     Harits bin Asad Al-Muhasibi
Nama lengkap sang imam adalah Abu Abdullah Al-Harits bin Asad al-Basri. Kata terakhir dari namanya merujuk pada tanah kelahirannya yaitu Basrah di Irak, sekitar 545 km dari Baghdad. Dia sangat terkenal sebagai sosok yang begitu sering muhasabah hingga hal itu menjadi sifat khasnya, itulah mengapa ia digelari al-Muhasibi. Imam al-Harits hidup sezaman dengan Imam Ahmad ibn Hanbal (164-241 H atau 780-855 M). Al Harits mengeluarkan pemikiran tentang cara-cara memperoleh pendapatan atau mata pencaharian. Ia menulis:
“Seseorang yang mencari suatu mata pencaharian adalah untuk menegakkan hak, dan berhenti melanggar batas yang ditentukan oleh Allah SWT dalam menjalankan perdagangan, industri serta kegiatan lainnya. Orang seperti itu mentaati Allah SWT dan berhak mendapat penghargaan sebagai orang yang berpengetahuan.”
Al-Muhasibi menulis bahwa penarikan diri dari kegiatan ekonomi tidak sesuai dengan ajaran Islam yang benar. Yang harus dihindari adalah memperoleh laba dan upah dari perbuatan yang tidak dikehendaki Allah SWT. Sebaliknya, seseorang harus ikhlas dan terlibat dalam usaha dengan maksud membantu Muslim lainnya. Ia mengecam orang tidak percaya pada Hari Pengadilan, dan bertentangan dengan syariah dalam kegiatan ekonominya.

Referensi :
Salidin Wally,Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Al Syaibani dan Abu Ubaid, S2 Hukum Ekonomi Syariah UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2018
Fatur Rohman, Pemikiran Ekonomi Yahya Bin Umar, 2018
 Rizal Mahmuddhin , Roda Ekonomi Ramadan  Ahmad bin Hanbal, Penentang Monopoli Pasar,  2019 |
D  Ryandi, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam part 2, 2018
Sumber gambar : Ma'had Aly Jakarta
Penulis : Tim Forshei