![]() |
ODOL, Hukum, dan Uang: Menguak Keadilan yang Terpuruk dan Jerat Finansial yang Mencekik Sopir Truk Jawa Timur
Sektor logistik bagaikan nadi perekonomian nasional, mengalirkan barang ke seluruh penjuru negeri untuk menjaga roda distribusi tetap berputar. Di tengah dinamika ini, sopir truk berdiri sebagai ujung tombak, menjalankan peran krusial dengan mengantarkan muatan melintasi jalanan yang tak selalu ramah. Namun, di balik peran strategis mereka, sebuah realitas pahit terungkap: kebijakan Over Dimension and Over Loading (ODOL) justru menempatkan mereka sebagai pihak paling rentan, terhimpit oleh tekanan regulasi, hukuman yang tak seimbang, dan beban finansial yang menghancurkan. Meski ODOL dirancang untuk melindungi infrastruktur jalan, mengurangi kecelakaan, dan meningkatkan efisiensi transportasi, implementasinya di lapangan malah mencerminkan ketidakadilan: sopir truk dipaksa menanggung konsekuensi hukum dan ekonomi yang jauh melebihi kuasa mereka dalam rantai logistik.
Landasan hukum ODOL, yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan serta berbagai regulasi teknis Kementerian Perhubungan, ditegakkan melalui jembatan timbang, tilang elektronik (ETLE), dan inspeksi lapangan. Namun, di balik ketegasan ini, sanksi yang diberikan—dari denda besar hingga ancaman pidana kurungan—sering kali menghantam sopir truk secara langsung. Hidup dari penghasilan harian, kerap dipaksa membayar denda dari kantong pribadi, meskipun keputusan membawa muatan berlebih biasanya datang dari pemilik barang atau perusahaan ekspedisi. Realitas ini menggambarkan sebuah paradoks: sopir truk, sebagai pelaku lapangan, menjadi kambing hitam dari sistem yang lebih besar.
Industri logistik Indonesia, dengan biaya operasional tinggi dan margin keuntungan tipis, memperparah beban sopir truk. Begitu juga sopir truk sendiri menanggung dalam pengeluaran seperti bahan bakar, perawatan kendaraan, hingga tarif tol, tanpa jaminan sosial atau perlindungan ketenagakerjaan yang memadai. Sanksi ODOL bukan sekadar hukuman administratif, tetapi juga ancaman terhadap kelangsungan ekonomi keluarga mereka. Ketika truk dihentikan atau denda menumpuk, mimpi sederhana untuk menghidupi keluarga pun terancam. Sistem ini menciptakan lingkaran setan: sopir dituntut patuh pada regulasi, namun terperangkap dalam tekanan struktural yang membuat kepatuhan nyaris mustahil.
Pelanggaran ODOL bukan semata-mata kesalahan sopir, melainkan cerminan dari dinamika rumit dalam ekosistem logistik. Pemilik barang sering memaksakan muatan berlebih demi menekan biaya, sementara persaingan harga antarperusahaan logistik mendorong praktik serupa. Desain karoseri yang tidak sesuai standar, infrastruktur jalan yang bervariasi, dan lemahnya pengawasan di tingkat hulu semakin memperburuk situasi. Dalam rantai ini, sopir hanyalah eksekutor tanpa kuasa, namun justru mereka yang paling mudah disalahkan.
Ketidakadilan struktural ini terlihat jelas dalam pola penegakan hukum. Sopir truk menjadi sasaran utama sanksi, sementara aktor lain seperti pemilik barang atau perusahaan ekspedisi sering luput dari jerat hukum. Pendekatan retributif yang diterapkan gagal menangani akar masalah, mengabaikan prinsip keadilan restoratif yang seharusnya membagi tanggung jawab secara adil di antara semua pihak. Hukum yang ada hanya menggores permukaan, meninggalkan luka mendalam bagi sopir yang berada di ujung rantai.
Ketegangan ini memicu perlawanan sosial. Aksi mogok, demonstrasi, dan penolakan terhadap tilang bukan sekadar pelanggaran, melainkan jeritan dari sopir truk yang merasa terdzalimi oleh sistem yang tidak berpihak. Mereka menuntut keadilan dalam distribusi tanggung jawab, pengawasan yang lebih baik, dan perlindungan ekonomi yang nyata. Respons pemerintah tidak boleh berhenti pada penegakan hukum semata, tetapi harus menyentuh dimensi struktural yang menjadi akar ketimpangan.
Solusi jangka panjang untuk ODOL membutuhkan pendekatan holistik dan inklusif. Regulasi perlu direvisi untuk memastikan beban hukum terdistribusi secara adil di seluruh rantai pasok, bukan hanya pada sopir. Insentif bagi pelaku usaha yang mematuhi standar ODOL, seperti spesifikasi kendaraan yang sesuai, harus dihadirkan. Pelatihan dan edukasi bagi sopir, ditambah dengan jaminan kesejahteraan seperti perlindungan ketenagakerjaan, menjadi langkah krusial untuk menciptakan perubahan nyata.
Ketimpangan antara logika hukum dan realitas ekonomi yang dihadapi sopir truk menyerukan perubahan mendasar dalam cara negara memandang keadilan transportasi. Penegakan hukum yang hanya menyasar pihak paling lemah tidak akan pernah menghasilkan keadilan sejati. Selama sopir truk terus menjadi korban dari sistem yang menekan mereka, keseimbangan dalam logistik nasional akan tetap rapuh. Negara harus hadir bukan hanya sebagai penegak hukum, tetapi juga sebagai pelindung yang memastikan setiap roda yang berputar di jalanan Indonesia membawa keadilan bagi semua pihak dalam ekosistem transportasi.