PENGANTAR FIQH MUAMALAH 2 (HAK, KEPEMILIKAN DAN AKAD)
A. HAK
Secara etimologis: Ketetapan atau kepastian
Secara terminologis: Suatu hukum yang telah ditetapkan oleh syariat.
Pembagian hak:
1. Hak mal: Hak yang berkaitan dengan harta. Contohnya hak kepemilikan atas rumah, tanah, atau barang.
2. Hak ghair mal: Hak yang tidak berkaitan langsung dengan harta, meliputi:
a) Hak syakshi: Tuntutan yang dapat syariat tetapkan dari seseorang terhadap orang lain, seperti hak menuntut pembayaran utang.
b) Hak 'aini: Hak seseorang atas bendanya, tanpa perlu orang lain.
- Hak 'aini ashli: adanya wujud benda tertentu dan adanya shahub al-haq (keterikatan). Contoh: hak milik atas rumah.
- Hak 'aini thab'i: jaminan yang ditetapkan oleh pemberi hutang kepada orang yang berhutang.
B. KEPEMILIKAN
Pengertian kepemilikan: Secara etimologis penguasaan terhadap sesuatu. Secara terminologis kekhususan terhadap pemilik suatu barang menurut syara’ untuk bertindak secara bebas bertujuan mengambil manfaat selama tidak penghalang syar’i. Sebab-sebab Kepemilikan meliputi:
1. Ikraj al mubahat, adalah cara memiliki harta yang masih bersifat bebas, belum dimiliki siapa pun, dan boleh dimanfaatkan (harta yang mubah). Syaratnya ada dua: pertama, benda itu memang belum pernah diambil atau dikuasai orang lain; kedua, orang yang mengambilnya harus benar-benar berniat menjadikannya sebagai miliknya.
2. Khalafiyah, ialah pergantian posisi, di mana sesuatu yang baru menempati kedudukan yang lama yang sebelumnya sudah hilang hak-haknya. Khalafiyah terbagi menjadi dua bentuk. Pertama, khalafiyah syakhsī ‘an syakhsī, yaitu ketika seorang ahli waris menggantikan pewaris dalam kepemilikan harta peninggalannya. Kedua, khalafiyah syai’in ‘an syai’in, yaitu keadaan ketika seseorang merugikan barang milik orang lain hingga barang tersebut rusak atau hilang saat berada dalam tanggungannya.
3. Tawallud min mamluk artinya segala sesuatu yang muncul atau dihasilkan dari barang yang sudah dimiliki, maka hasil itu otomatis menjadi hak si pemilik barang tersebut. Termasuk juga, apabila seseorang menguasai harta milik negara secara pribadi dalam jangka waktu lebih dari tiga tahun, maka kepemilikan itu bisa berpindah kepadanya.
Menurut ulama ada 4 cara pemilikan harta yang disyariatkan islam, yaitu:
1. Melalui penguasaan harta yang belum dimiliki seseorang atau lembaga hukum.
2. Melalui transaksi.
3. Melalui peninggalan seseorang.
4. Hasil harta yang telah dimiliki seseorang tersebut.
Menurut pasal 18 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, juga bisa diperoleh dengan cara:
1. Pertukaran
2. Pewarisan
3. Hibah
4. Pertambahan alamiah
5. Jual beli
6. Luqathah
7. Waqaf
8. Cara-cara lain yang dibenarkan menurut syariah
Pandangan Ulama
Menurut Wahbah az-Zuhaili dalam al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuh, kepemilikan dalam Islam tidak hanya sekadar penguasaan fisik, tetapi mencakup perlindungan hukum atas hak individu dalam menggunakan, memanfaatkan, dan memindahkan harta sesuai syariat. Demikian pula, Yusuf al-Qardhawi menegaskan bahwa kepemilikan dalam Islam bersifat relatif, sebab hakikat kepemilikan mutlak hanyalah milik Allah, sementara manusia hanyalah khalifah yang diberi amanah untuk mengelolanya.
Pendapat Lembaga Resmi
Menurut Majma’ al-Fiqh al-Islami (OKI), prinsip kepemilikan harus memperhatikan kemaslahatan umum. Oleh karena itu, kepemilikan individu tidak boleh bertentangan dengan kepentingan masyarakat luas. Hal ini juga ditegaskan dalam fatwa DSN-MUI, bahwa harta yang dimiliki wajib dikelola sesuai prinsip syariah dan tidak boleh digunakan untuk hal yang diharamkan.
C. AKAD
Al-aqd (jamak: al-uquud) artinya ikatan atau tali sampul. Menurut para ulama fiqih, akad adalah pertemuan antara ijab dan kabul yang sesuai dengan ketentuan syariat, sehingga melahirkan akibat hukum terhadap objek yang diperjanjikan. Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, akad dipahami sebagai kesepakatan antara dua pihak atau lebih dalam suatu perjanjian untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan hukum tertentu.
1. Rukun akad
a) Al-aqid, pihak-pihak yang berakad.
b) Sighat, perbuatan yang menunjukkan terjadinya akad berupa ijab (ucapan yang diucapkan oleh penjual) dan qabul (ucapan setuju dan rela yang berasal dari pembeli). Hal-hal yang harus diperhatiakan dalam sighat:
- Sighat al aqd harus jelas pengertiannya.
- Harus bersesuaian dengan ijab dan qabul.
- Menggambarkan kesungguhan kemauan dari pihak-pihak yang berkaitan.
c) Al-ma’qud alaih, objek akad.
2. Jenis-jenis akad menurut tujuannya
a) Akad Tabarru’: akad yang dimaksudkan untuk menolong dan murni semata-mata kaena mengharapkan ridha dan pahala dari Allah SWT, sama sekali tidak ada unsur mencari imbal hasil. Contohnya Hibah, Waqaf, Wasiat, Wakalah, Kafalah, Hafalah, Rahn, Qiradh.
b) Akad Tijari: akad yang dimaksudkan untuk mencari dan mendapatkan keuntungan dimana rukun dan syarat telah dipenuhi semuanya. Contoh: Murabahah, Salam, Istishna’, Musyarakah.