Pemikiran Ekonomi Menurut Ulama Fase Awal


Senin (28/9), ForSHEI (Forum Studi Hukum Ekonomi Islam) mengadakan diskusi rutin pada pukul 08.40 WIB dan 16.00 WIB yang bertempat di samping audit II kampus 3. Diskusi dihadiri oleh kader ForSHEI baik angkatan 2014 maupun 2015 dan didampingi oleh Majelis Pertimbangan ForSHEI (MPF).
Diskusi dibuka dengan pembacaan Surah Fatihah dilanjutkan pembacaan tema tentang “Pemikiran Ekonomi Zaid bin Ali, Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas dan Al-Awza’i”. Setelah itu, para kader ForSHEI yang mengikuti diskusi sangat berpartisipasi dalam menyampaikan pendapatnya masing-masing. 
Bahasan pertama mengenai pemikiran ekonomi Zaid bin Ali (80 H-120 H/ 699 M-738M). Zaid bin Ali mrupakan putra Imam Syi’ah ke-4, yaitu Ali Zaynal Abidin dan cucu dari Husain Bin Ali. Beliau adalah penggagas awal komoditi secara kredit serta membolehkan  menetapkan kelebihan harga yang lebih tinggi pada jual beli secara tunai. Jual beli kredit diperbolehkan karena sebagai kompensasi untuk mempermudah pembeli. Jual beli kredit itu sah, apabila antara penjual dan pembeli menerapkan prinsip suka sama suka, namun beliau tidak membolehkan harga yang ditangguhkan pembayarannya lebih tinggi dari pembayaran tunai sebagaimana halnya penambahan terhadap penundaan pembayaran disebut riba. Selain itu, Zaid juga menyatakan bahwa “Uang tidak dapat menghasilkan sesuatu dengan sendirinya. Uang bisa menghasilkan apabila melalui perniagaan atau transaksi. 
Tokoh pemikiran ekonomi yang kedua adalah Abu Hanifah (80-150H/699-767M). Beliau adalah seorang Imam Madzhab yang mengedepankan logika (Ahlu Ra’yu). Abu Hanifah menggagas keabsahan dan keshahihan hukum jual beli Salam dan Murabahah. Dalam gagasannya, sistem Salam harus jelas dan rinci dalam pemesanannya dan tidak ada unsur gharar. Beliau juga melarang sistem muzara’ah ketika lahan tidak produktif lagi, dikarenakan bisa merugikan salah satu pihak yang bersangkutan.
Dilanjutkan pembahsan mengenai pemikiran Imam Malik bin Anas (93-179H/712-796M). Imam Malik adalah pendiri Islam dan pakar tradisi kehidupan kota Madinah. Sistem pemikiran ekonominya adalah raja atau penguasa harus bertanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyatnya. Menurut beliau menerapkan konsep mashlahah atau nilai kegunaan yang merupakan akar dari syariah serta memperbolehkan menaikkan pajak untuk kepentingan rakyat.
Pembahasan terakhir mengenai pemikiran ekonomi Al-Awza’i ( 88-157 H/707-774 M). Al-Awza’i adalah ulama yang tingal di daerah Damaskus. Beliau disegani karena selalu memberikan nasehat atau pendapat kepada orang disekitarnya. Pemikirannya mengenai kebolehan dan keshahihan sistem muzara’ah sebagai bagian dari bentuk murabahah dan membolehkan peminjaman modal, baik dalam bentuk tunai atau sejenis.
Diskusi diakhiri dengan pembacaan kesimpulan oleh salah satu kader ForSHEI. Setelah itu, diskusi ditutup dengan bacaan hamdalah dan dibubarkan dengan tos ForSHEI yang dilakukan secara bersama-sama.

Oleh: Astri Fadila Nurulita