Hawalah, Wakalah, Kafalah dan Hukum Waris



Hawalah, Wakalah, dan Kafalah (kader 2018)

Menurut bahasa, yang dimaksud dengan hiwalah ialah al-intiqal dan al-tahwil, artinya ialah memindahkan atau mengoperkan. Sedangkan pengertian hiwalah secara istilah, menurut Hanafiyah, yang dimaksud hiwalah ialah “Memindahkan tagihan dari tanggung jawab yang berutang kepada yang lain yang punya tanggung jawab kewajiban pula. Dalam kompilasi hukum islam hawalah diatur dalam pasal 318-328, sedangkan dalam Fatwa Dewan Syari’ah Nasional diatur dalam NO: 12/DSN-MUI/IV/2000.

Dasar hukum dalil terdapat pada Q.S. Al-Kahfi ayat 19 yang artinya : “ Dan demikianlah Kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di antara mereka sendiri. berkatalah salah seorang di antara mereka: sudah berapa lamakah kamu berada (disini?)”. mereka menjawab: “Kita berada (disini) sehari atau setengah hari”. berkata (yang lain lagi): “Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah Dia Lihat manakah makanan yang lebih baik, Maka hendaklah ia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia Berlaku lemah-lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seorangpun”.

Dasar hukum yang bersumber dari hadist yang artinya “Menunda-nunda pembayaran hutang yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kezaliman. Maka, jika seseorang di antara kamu dialihkan hak penagihan piutangnya (dihawalahkan) kepada pihak yang mampu, terimalah” (HR. Bukhari).

Terdapat empat rukun hiwalah itu, sebagai berikut: Pertama, muhil; yaitu orang yang menghiwalahkan atau orang memindahkan utang. Kedua, muhtal; yaitu orang yang dihiwalahkan, yaitu orang yang mempunyai itang kepadamuhil. Ketiga, muhal alaih; yaitu orang menerima hiwalah, Keempat, shigat. Syarat Hiwalah yaitu pihak pertama (muhil) cakap dalam melakukan tindakan hukum dalam bentuk akad, yaitu baligh dan berakal. Juga terdapat pernyataan persetujuan (ridha).

Hawalah dapat di bagi menjadi beberapa jenis yang diantaranya yaitu:
1. Hawalah haqq (pemindahan hak) terjadi apabila yang dipindahkan itu merupakan hak menuntut uang atau dengan kata lain pemindahan piutang.
2. Hawalah dayn (pemindahan hutang) terjadi jika yang dipindahkan itu kewajiban untuk membayar hutang.
3. Hawalah muqayyadah (pemindahan bersyarat) adalah pemindahan sebagai ganti dari pembayaran hutang pihak pertama (muhil) kepada pihak kedua (muhal).
4. Hawalah mutlaqah (pemindahan mutlak) adalah pemindahan hutang yang tidak ditegaskan sebagai ganti pembayaran hutang pihak pertama (muhil) kepada pihak kedua (muhal).
 
Menurut bahasa wakalah artinya adalah al-hifdz, al-kifayah, al-dhaman dan al-tafwid (penyerahan, pengdelegasian dan pemberian mandat). Al-wakalah ialah penyerahan dari seseorang kepada orang lain untuk mengerjakan sesuatu, perwakilan berlaku selama yang mewakilkan masih hidup. Wakalah dalam kompilasi hukum islam diatur dalam pasal 457- 474 dan dalam Dewan Syariah Nasional diatur dalam NO: 10/DSN-MUI/IV/2000.

Dasar hukum wakalah terdapat pada QS Al-Baqarah : 283 yang artinya “jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang  tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan persaksian dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Hadits yang dapat dipergunakan sebagai dasar akad Wakalah, adalah: “Bahwasanya Rasulullah mewakilkan kepada Abu Rafi’ dan seorang Anshar untuk mewakilkannya mengawini Maimunah binti Al Harits”. HR. Malik dalam al-Muwaththa’).

Rukun wakalah yaitu terdapat orang yang mewakilkan,  wakil (yang mewakili),  muwakkal fih (sesuatu yang diwakilkan). Untuk syarat- syarat wakalah yaitu: Pertama, orang yang mewakilkan  itu berakal dan sebagai pemilik barang atau di bawah kekuasaannya dan dapat bertindak pada harta tersebut. Kedua, orang mewakili  itu berakal dan baligh. Ketiga, sesuatu yang diwakilkan  mampu menerima penggantian, maksudnya boleh diwakilkan pada orang lain untuk mengerjakannya, maka tidaklah sah mewakilkan untuk mengerjakan shalat, puasa, dan membaca ayat Al-quran, karena hal ini tidak bisa diwakilkan. Keempat, shigat yaitu lafaz mewakilkan, sighat diucapkan dari yang berwakil sebagai symbol keridhaannya untuk mewakilkan, dan wakil menerimanya.
 
Kafalah menurut bahasa berarti al-dhaman (jaminan), hamalah (beban) dan zama’ah (tanggungan). Al-kafalah atau al-dhaman ialah menggabungkan dua beban ( tanggungan ) dalam permintaan dan utang. Dalam kompilasi Hukum Ekonomi Islam kafalah diatur dalam pasal 291 – 317. Sedangkan dalam Dewan Syariah Nasional kafalah diatur di NO: 11/DSN-MUI/IV/2000.

Dasar Hukum kafalah terdapat pada Q.S Yusuf : 72 yang artinya: “Barang siapa yang dapat mnengembalikannya piala raja, maka ia akan  memperoleh bahan makanan seberat beban unta dan aku yang menjamin terhadapnya”.

Hadis Nabi riwayat Bukhari: “Telah dihadapkan kepada Rasulullah SAW jenazah seorang laki-laki untuk disalatkan. Rasulullah saw bertanya, ‘Apakah ia mempunyai hutang?’ Sahabat menjawab, ‘Tidak’. Maka, beliau mensalatkannya. Kemudian dihadapkan lagi jenazah lain, Rasulullah pun bertanya, ‘Apakah ia mempunyai hutang?’ Sahabat menjawab. ‘Ya’. Rasulullah berkata, ‘Salatkanlah temanmu itu’ (beliau sendiri tidak mau mensalatkannya). Lalu Abu Qatadah berkata, ‘Saya menjamin hutangnya, ya Rasulullah’. Maka Rasulullah pun menshalatkan jenazah tersebut.” (HR. Bukhari dari Salamah bin Akwa’).

Rukun dan Syarat Berdasarkan Fatwa Dewan Nasional tentang kafalah adalah sebagai berikut. Rukun dan Syarat Kafalah adalah sebagai berikut.
1. Pihak Penjamin (Kafiil) dengan syarat baligh (dewasa) dan berakal sehat, berhak penuh untuk melakukan tindakan hukum dalam urusan hartanyaan, rela (ridha) dengan  tanggungan kafalah tersebut.
2. Pihak Orang yang berhutang (Ashiil, Makfuul ‘anhu) dengan syarat sanggup menyerahkan tanggungannya (piutang) kepada penjamin dan dikenal oleh penjamin.
3. Pihak Orang yang Berpiutang (Makfuul Lahu) dengan syarat diketahui identitasnya, dapat hadir pada waktu akad atau memberikan kuasa, dan berakal sehat.
4. Obyek Penjaminan (Makful Bih) dengan syarat merupakan tanggungan pihak/orang yang berhutang, baik berupa uang, benda, maupun  pekerjaan. Kemudian bisa dilaksanakan oleh penjamin. Harus merupakan piutang mengikat (lazim), yang tidak mungkin hapus kecuali setelah dibayar atau dibebaskan. Harus jelas nilai, jumlah dan spesifikasinya, dan tidak bertentangan dengan syari’ah (diharamkan).

Hukum Kewarisan (kader 2017)

Hukum kewarisan atau sering dikenal dengan istilah faraidh. Hal ini dalam Islam, bagian-bagian warisan yang menjadi hak ahli waris telah ditentukan dalam al-Qur’an. Hukum kewarisan dalam Islam mendapat perhatian besar, karena pembagian warisan sering menimbulkan akibat-akibat yang tidak menguntungkan. Secara etimologis, faraidh diambil dari kata fardh yang berarti taqdir “ketentuan”. Dalam istilah syara’ kata fardh adalah bagian yang telah ditentukan bagi ahli waris. Pengertian hukum kewarisan menurut Pasal 171 huruf a Kompilasi Hukum Islam adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagian masing-masing. Dalam konteks yang lebih umum, warisan dapat diartikan sebagai perpindahan hak kebendaan dari orang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya yang masih hidup dalam hal ini bisa keluarga maupun sanak sudara.

Adapun yang menjadi dasar pelaksanaan pembagian harta warisan dalam hukum Islam adalah berpedoman pada ayat-ayat al-Qur’an, salah satunya pada surat An-Nisa’ ayat 7, yang artinya : “Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan  ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan”.

Adapun beberapa rukun pembagian waris yaitu pewaris, harta warisan, dan ahli waris. Ketiga unsur tersebut saling berkaitan, dan masing-masing mempunyai ketentuan tersendiri. Pewaris adalah orang yang pada saat meninggal beragama Islam, meninggalkan harta warisan dan ahli waris yang masih hidup.

Istilah pewaris secara khusus dikaitkan dengan suatu proses pengalihan hak atas harta dari seseorang yang telah meninggal dunia kepada keluarganya yang masih hidup. Oleh karena itu, seseorang yang masih hidup dan mengalihkan haknya kepada keluarganya tidak dapat disebut pewaris, meskipun pengalihan itu dilakukan pada saat menjelang kematiannya.

Harta warisan adalah harta bawaan ditambah dengan bagian dari harta bersama sesudah digunakan keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah, dan pembayaran utang serta wasiat pewaris. Sedangkan pengertian harta warisan menurut Pasal 171 huruf e KHI yaitu : “Harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat”. Ahli waris adalah orang yang berhak mewaris karena hubungan kekerabatan (nasab) atau hubungan perkawinan (nikah) dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.

Dalam hukum kewarisan Islam ada tiga penghalang mewaris, yaitu pertama pembunuhan. Pembunuhan apabila seseorang ahli waris membunuh pewaris, misalnya seseorang anak membunuh ayahnya maka ia tidak berhak mendapatkan warisan. Pembunuhan yang dilakukan ahli waris terhadap pewarisnya menyebabkan ia terhalang haknya untuk mewarisi. Karena itu, yang terpenting adalah bagaimana membuktikan bahwa seseorang telah bersalah melakukan pembunuhan terhadap si pewaris. Rasulullah SAW bersabda : “Barangsiapa  membunuh  seorang  korban,  maka  ia  tidak  berhak mewarisinya, meskipun korban tidak mempunyai ahli waris lainnya selain dirinya, baik itu orang tuanya, atau anaknya maka bagi pembunuh tidak berhak atas warisan”. (Riwayat Ahmad).
Kedua berbeda agama, berbeda agama berarti agama pewaris berbeda dengan agama ahli waris. Misalnya pewaris beragama Islam, sedangkan ahli warisnya beragama Kristen, atau sebaliknya. Imam Ahmad ibn Hanbal dalam salah satu pendapatnya mengatakan bahwa apabila seseorang ahli waris masuk Islam sebelum pembagian warisan dilakukan, maka ia tidak terhalang untuk mewarisi. Alasannya, karena status berlainan agama sudah hilang sebelum harta warisan dibagi.  Ketiga perbudakan, perbudakan menjadi penghalang mewarisi, bukanlah karena status kemanusiannya, tetapi semata-mata karena status formalnya sebagai hamba sahaya (budak).

Sementara itu dalam Pasal 173 KHI seseorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena pertama dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada pewaris.

Kedua dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun  penjara atau hukuman yang lebih berat.
Dalam pembagian harta waris untuk kerabat laki-laki yang berhak mendapat harta waris terdapat 15 yaitu: anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki, bapak, kakek/ayahnya ayah, saudara laki-laki sekandung, saudara laki-laki sebapak, saudara laki-laki seibu, anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung, anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak, suami, paman sekandung, paman sebapak, anak dari paman laki-laki sekandung, anak dari paman laki-laki sebapak, laki-laki yang memerdekakan budak.

Selain yang disebut di atas termasuk “dzawil arham”, seperti paman dari pihak ibu, anak laki-laki saudara seibu dan paman seibu, dan anak laki-laki paman seibu dan semisalnya tidak mendapat harta waris.

Adapun ahli waris perempuan terdapat 11, yaitu: anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki, ibu, nenek / ibunya ibu, nenek / ibunya bapak, nenek / ibunya kakek, saudari sekandung, saudari sebapak, saudari seibu, isteri, wanita yang memerdekakan budak. Semua keluarga wanita selain ahli waris sebelas ini, seperti bibi dan seterusnya dinamakan “dzawil arham”, tidak mendapat harta waris.
Namun terdapat catatan dalam pembagian harta waris. Pertama, bila ahli waris laki-laki yang berjumlah lima belas di atas masih hidup semua, maka yang berhak mendapatkan harta waris hanya tiga saja, yaitu: Bapak, anak dan suami. Sedangkan yang lainnya mahjub (terhalang) oleh tiga ini.

Kedua, bila ahli waris perempuan yang berjumlah sebelas di atas masih hidup semua, maka yang berhak mendapatkan harta waris hanya lima saja, yaitu: Anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki, ibu, isteri, saudari sekandung. Ketiga, jika semua ahli waris laki-laki dan perempuan masih hidup semuanya, maka yang berhak mendapatkan harta waris lima saja, yaitu : Bapak, anak, suami, atau isteri, anak perempuan, dan ibu.