Resesi Ekonomi, Ancaman di Tengah Pandemi



Pandemi global Covid-19 belum juga teratasi sampai saat ini. Korban yang terinfeksi semakin bertambah setiap harinya. Hingga 16 April 2020 jumlah orang yang terjangkit Covid-19 sudah mencapai lebih dari 2 juta orang. Berbagai sektor mulai terdampak Covid-19 ini, salah satunya adalah sektor ekonomi.
 
International Monetary Fund (IMF) atau Dana Moneter Internasional memprediksikan pertumbuhan ekonomi global tahun ini minus 3%. Kemerosotan ekonomi ini menjadi yang terburuk setelah The Great Depression atau Depresi Besar pada tahun 1929 dan krisis finansial global pada tahun 2008-2009 yang mengalami pertumbuhan ekonomi sebesar minus 0,1%. Kondisi ini menyebabkan IMF menetapkan perekonomian global saat ini tengah memasuki tahap Resesi. Hal ini disebabkan oleh penghentian sebagian aktivitas ekonomi di beberapa negara di dunia.

Dikutip dari Katadata.co.id, resesi adalah sebuah kondisi penurunan kegiatan ekonomi secara signifikan selama beberapa waktu, pada umumnya terjadi selama tiga bulan atau lebih. Beberapa indikator yang menandai adanya resesi antara lain menurunnya Produk Domestik Bruto (PDB), menurunnya pendapatan riil, pengangguran bertambah, penjualan retail melemah, dan industri manufaktur terpuruk.
 
Saat resesi terjadi, pertumbuhan ekonomi berada pada angka 0% bahkan pada kondisi terburuk bisa menjadi minus. Pertumbuhan ekonomi adalah indikator utama untuk mengatur perkembangan dan kemajuan suatu negara. Jika pertumbuhan ekonomi tinggi maka PDB akan meningkat. Banyak faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, salah satunya adalah faktor eksternal. Faktor eksternal terdiri atas gejolak ekonomi global, mekanisme pasar, dan terjadinya suatu wabah. 

Suatu negara dikatakan mengalami resesi ketika pertumbuhan PDB sudah negatif dalam dua kuartal berturut-turut atau lebih. Resesi ekonomi dapat menimbulkan efek domino. Contohnya adalah ketika investasi anjlok pada saat terjadi resesi, lapangan pekerjaan akan berkurang sehingga dapat meningkatkan angka pengangguran. Produksi barang dan jasa berkurang sehingga PDB juga ikut menurun. Apabila tidak segera diatasi, efek domino resesi akan menyebar ke berbagai sektor seperti macetnya kredit perbankan, inflasi yang sulit dikendalikan, bahkan bisa saja terjadi deflasi. Hal ini akan menyebabkan neraca perdagangan menjadi minus dan berimbas pada cadangan devisa.

Resesi dan pandemi memiliki hubungan yang erat. Lembaga riset nirlaba asal AS, National Bureau of Economic Research menemukan dua kejadian wabah yang berakhir dengan kejatuhan ekonomi. Pertama, Flu Rusia pada tahun 1889-1890 yang memakan korban hingga 1 juta orang sehingga menimbulkan resesi ekonomi di belahan bumi utara. Kedua, Flu Spanyol yang terjadi diakhir Perang Dunia 1 pada tahun 1918 yang menelan jutaan korban jiwa.

 Di Indonesia, resesi terakhir yang mempengaruhi perekonomian adalah ketika terjadi resesi di sebagian negara Eropa pada tahun 2008-2009, yang menyebabkan melemahnya perekonomian Indonesia selama beberapa waktu. Namun, kondisi tersebut tidak separah krisis 1998 yang membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia minus 13,1%.

 Untuk mengatasi resesi tahun ini, Indonesia telah menempuh berbagai jalan keluar untuk mengurangi efek dari resesi akibat pandemi Covid-19. Pemerintah berencana untuk menerbitkan obligasi khusus untuk disalurkan pada pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) yang terdampak Covid-19 agar tetap bisa bertahan dan menciptakan lapangan kerja. Presiden Joko Widodo juga menyelenggarakan program karya tunai, untuk memberikan penghasilan sementara bagi pekerja harian yang kehilangan penghasilan mereka. Beberapa program padat karya tersebut adalah produksi masker, desinfektan, dan berbagai keperluan yang diperlukan untuk menangani pandemi ini.

Penulis
Tutut Ida Purwatiningsih
(Kader forshei 2018)