Omnibus Law
atau undang-undang sapu jagat (omnibus
bill) adalah istilah untuk menyebut suatu undang-undang yang bersentuhan
dengan berbagai macam topik dan bertujuan untuk mengamandemen, memangkas,
dan/atau mencabut sejumlah undang-undang lain. Konsep seperti ini biasanya
ditemukan pada negara yang sistem hukumnya termasuk sistem hukum umum seperti
di Amerika Serikat dan jarang ditemui pada negara yang sistem hukumnya termasuk
sistem hukum sipil seperti di Indonesia.
Dalam sejarahnya, undang-undang ini
sering kali memicu terbentuknya berbagai amandemen yang kontroversial. Oleh
sebab itu, beberapa kalangan menilai bahwa undang-undang ini bertentangan
dengan demokrasi. Di Amerika Serikat, undang-undang ini disebut sebagai The Big Ugly, contohnya termasuk
undang-undang rekonsiliasi, alokasi gabungan, serta bantuan dan klaim pribadi.
Sedangkan di negara Indonesia, wacana undang-undang ini digunakan untuk
mendorong investasi, yakni RUU Cipta Kerja, RUU Perpajakan untuk Penguatan
Ekonomi, RUU Kefarmasian, dan RUU Ibukota Negara. RUU Cipta Kerja ini disebut-sebut
akan memangkas dan menyederhanakan aturan dari 1244 pasal dan 79 undang-undang
terkait investas.
Dari segi
ekonomi, Omnibus Law diprediksi akan membantu memperbaiki ekonomi Indonesia
menjadi lebih baik. Menteri Keuangan, Sri Mulyani, berpendapat bahwa adanya Omnibus
Law ini akan membantu Indonesia keluar dari jebakan kelas menengah atau middle income trap. Middle income trap adalah
suatu keadaan ketika suatu negara berhasil mencapai tingkat pendapatan
menengah, tetapi tidak dapat keluar dari tingkatan tersebut untuk menjadi
negara maju. Negara yang masuk dalam perangkap pendapatan menengah akan
kehilangan kemampuan kompetitif mereka karena gaji pekerja di negara tersebut
meningkat. Pada saat yang sama, negara-negara ini tidak mampu bersaing secara
ekonomi dengan negara-negara maju di pasar dunia karena nilai tambah yang
tinggi. Negara-negara ini akan menghadapi masalah berupa investasi rendah,
pertumbuhan industri sekunder yang lambat, diversifikasi industri yang kurang,
dan kondisi lapangan kerja yang buruk. Dengan Omnibus Law, perekonomian
Indonesia diharapkan dapat ditingkatkan dan dikeluarkan dari middle income trap karena setiap urusan
perizinan menjadi lebih efisien, regulasinya tidak berbelit-belit, dan
masyarakat diberi kemudahan untuk membuka usaha.
Pemerintah menargetkan keberadaan RUU Cipta Kerja sebagai jalan bagi perbaikan ekonomi
nasional sehingga bisa mengalami pertumbuhan di kisaran 5,7-6%. Selain itu,
pemerintah juga mengharapkan beberapa hal dari adanya UU ini. Pertama, bisa
menciptakan lapangan kerja sebanyak 2,7-3 juta per tahun untuk menampung 9,29
juta orang yang tidak/belum bekerja. Kedua, peningkatan kompetensi pencari
kerja dan kesejahteraan pekerja. Ketiga, peningkatan produktivitas pekerja yang
tentunya akan berpengaruh pada peningkatan investasi dan pertumbuhan ekonomi.
Produktivitas Indonesia masih berada di bawah rata-rata negara ASEAN. Keempat,
peningkatan investasi sebesar 6,6-7% untuk membangun usaha baru dan
mengembangkan usaha yang sudah ada untuk membantu lapangan kerja baru sehingga
akan meningkatkan kesejahteraan rakyat yang akan mendorong peningkatan konsumsi
sebesar 5,4-5,6%. Kelima, pemberdayaan UMKM dan koperasi sehingga kontribusi
UMKM terhadap PDB meningkat menjadi 65% dan koperasi menjadi 5,5%.
Selain itu, ada beberapa sektor yang
berpotensi akan merasakan dampak positif dari adanya undang-undang ini, yaitu
sektor perbankan, properti dan industrial estate kawasan industri. Bagi sektor
perbankan, kehadiran UU Ciptaker membawa dampak positif karena UMKM akan mudah
mendapat kredit dan investasi, deregulasi kemudahan dan perizinan, sehingga
akan mendorong pertumbuhan kredit di jangka menengah-panjang. Untuk sektor
properti, dapat memicu relaksasi masyarakat berpenghasilan rendah sehingga akan
mendorong permintaan untuk properti menjadi meningkat. Lalu untuk lahan
industri, peningkatan investasi asing akan mendorong permintaan untuk lahan
industri khususnya di daerah kawasan ekonomi khusus.
Namun dampak-dampak positif tersebut tidak akan dirasakan sektor telekomunikasi.
Kebijakan berbagi infrastruktur pasif akan lebih menguntungkan operator kecil
karena belanja modal yang lebih kecil dibandingkan operator besar. Sektor plantation juga tidak akan merasakan
dampak positif. Perusahaan perkebunan wajib mengusahakan lahan perkebunan paling
sedikit 30% dari luas tanah. Kebijakan ini menjadi berdampak negatif karena
perseroan harus mengerjakan seluruh tanaman perkebunannya dalam waktu yang
relatif singkat.
Dari sisi
tenaga kerja, UU Ciptaker berpotensi membawa dampak yang kurang baik seperti:
pekerja terancam tidak menerima pesangon ketika mengundurkan diri, mengalami
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), atau meninggal dunia, TKA lebih mudah masuk ke
Indonesia, batasan maksimum 3 tahun untuk karyawan kontrak dihapus, jam lembur
bertambah dan cuti panjang menghilang, dan pemerintah menghapus upah
berdasarkan provinsi atau kabupaten/kota dan upah berdasarkan sektor pada
wilayah provinsi atau kabupaten/kota lalu diganti dengan penetapan upah minimum
kabupaten/kota oleh gubernur dengan syarat tertentu. Inilah yang memicu
terjadinya banyak protes di berbagai wilayah Indonesia oleh serikat pekerja dan
mahasiswa. Mereka menilai bahwa UU Ciptaker ini hanya menguntungkan pihak-pihak
berkuasa yang mempunyai bisnis besar.
Sebenarnya jika undang-undang yang dibuat ini mampu untuk menyeimbangkan dan memperhatikan
kepentingan setiap lapisan masyarakat, protes seperti yang dilakukan sekarang
mungkin tidak akan terjadi. Jika hanya menguntungkan satu pihak dan merugikan
pihak lain, dalam hal ini pekerja atau buruh, ada baiknya dilakukan peninjauan
ulang oleh Mahkamah Konstitusi. Karena pada dasarnya yang menggerakkan roda
perekonomian bisnis-bisnis besar di Indonesia adalah pekerja atau buruh. Jika
mereka merasa dirugikan dan tidak mau bekerja, perusahaan juga akan mengalami
kerugian. Dampak yang lebih besar dari hal tersebut adalah ekonomi Indonesia
bisa menjadi semakin terpuruk.